Terjebak Pada Pilihan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Selepas hari lebaran Idhul Fitri banyak kerabat kembali ke asal dengan menggunakan sejumlah moda angkutan. Ada pengalaman menarik dari mereka adalah terjebak pada pilihan; yaitu mereka berasumsi bahwa pada saat hari lebaran kendaraan masih jarang dan lalu lintas lancar. Mereka memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah dua jam setelah usai sholat Id agar tidak terjebak kemacetan. Ternyata keluarga yang berfikir demikian bukan hanya dirinya; banyak keluarga lain yang berasumsi sama. Akhirnya mereka terjebak pada kemacetan panjang yang memakan waktu lebih lama dari yang mereka duga.

Ternyata asumsi seperti ini tidak hanya saat berkendaraan; banyak jalan kehidupan yang dihadapkan pada pilihan, dan pilihan itu seolah jebakan yang tidak dapat dihindari. Berdasarkan penelusuran digital makna simbolis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Makna dari “terjebak pada pilihan” bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, tapi secara umum, frasa ini menggambarkan kondisi ketika seseorang merasa tidak benar-benar bebas dalam memilih, meskipun tampaknya ada opsi yang tersedia. Ada semacam tekanan, kebingungan, atau ketidakpastian yang membuat pilihan itu terasa seperti jebakan, bukan kebebasan.

Beberapa makna diantaranya: Pertama, Kebingungan dan keraguan. Seseorang bisa merasa terjebak karena tidak tahu mana yang terbaik. Semua pilihan punya risiko, dan rasa takut salah membuatnya tidak bisa melangkah. Kedua, Pilihan yang terbatas atau sama-sama buruk. Kadang, semua opsi yang tersedia tidak ideal, sehingga memilih salah satu terasa seperti mengorbankan sesuatu. Maka, walaupun “memilih”, sebenarnya tidak ada pilihan yang benar-benar diinginkan. Ketiga, Tekanan dari luar. Bisa jadi seseorang merasa harus memilih karena tuntutan sosial, keluarga, pasangan, atau pekerjaan. Jadi, meskipun tampaknya ia yang memilih, sebenarnya ia hanya mengikuti arus. Keempat, Konflik batin. Hati ingin satu hal, tapi logika atau realita mendorong ke arah lain; maka, apapun yang dipilih terasa salah atau berat.

Ternyata terjebak pada pilihan jika dilihat dari sudut pandang filsafat tidak sesederhana frasenya. Hal itu dapat diuraikan bahwa: Filosofi dari “terjebak pada pilihan” bisa dikaitkan dengan beberapa aliran atau pemikiran dalam filsafat, terutama yang berkaitan dengan kebebasan, kehendak, dan eksistensi. Ini beberapa pendekatan filosofis yang bisa memberi makna lebih dalam:

1. Eksistensialisme – Jean-Paul Sartre, Kierkegaard, Simone de Beauvoir.

Eksistensialis percaya bahwa manusia bebas memilih, tapi kebebasan itu bukan hal ringan. Justru karena terlalu bebas, manusia sering merasa cemas, takut, dan bahkan “terjebak” dalam pilihan-pilihannya sendiri.

“Man is condemned to be free.” – Sartre.

Maknanya: Kita harus memilih, tapi tiap pilihan membentuk makna hidup kita, dan itu tanggung jawab besar. Saat kita bingung, itu bukan karena tidak ada pilihan, tapi karena semua pilihan menuntut kita untuk menjadi sesuatu.

2. Determinisme vs. Kebebasan

Dari sisi determinisme, ada gagasan bahwa kita tidak sepenuhnya bebas karena semua pilihan kita dipengaruhi oleh faktor luar—kondisi sosial, budaya, sejarah pribadi. Maka, terjebak pada pilihan bisa berarti sadar bahwa kita sedang “dipaksa” memilih dalam batas-batas yang sudah ditentukan.

3. Stoikisme – Seneca, Epictetus, Marcus Aurelius

Stoik percaya bahwa yang bisa kita kendalikan hanya batin dan respons kita. Kalau kita merasa terjebak pada pilihan, itu karena kita mengikat diri pada hal-hal di luar kendali. Filosofinya adalah melepaskan keterikatan dan menerima apa yang terjadi dengan kebijaksanaan.

4. Taoisme – Laozi

Dalam Taoisme, ada ide bahwa terlalu banyak berpikir dan memilih bisa membuat kita kehilangan “aliran alami” kehidupan. Wu wei—tidak memaksa, membiarkan segala sesuatu mengalir—adalah kunci. Saat kita merasa terjebak, mungkin karena kita melawan arus yang seharusnya kita ikuti.

Jika kita ringkaskan kesimpulan Filosofisnya ialah, “Terjebak pada pilihan” adalah momen eksistensial. Ia menyingkap kerapuhan kita sebagai manusia yang ingin kebebasan tapi takut akan konsekuensinya. Ia menguji apakah kita sungguh hidup dengan sadar, atau hanya bereaksi pada tekanan luar.

Banyak peristiwa di dunia ini menggiring manusia terjebak pada pilihan, dan pilihan itu tidak bisa diulang atau dihindari. Akibatnya kita sering menerima akibat dari sesuatu sebab yang tidak kita kehendaki. Dengan kata lain kita berada pada posisi harus memilih dari suatu pilihan yang sejatinya semua tidak kita pilih; akibatnya kita berada pada lingkar pilihan yang tidak mengenakkan. Memang dalam alam demokrasi ada pilihan untuk tidak memilih juga suatu pilihan; akan tetapi itu jika yang dipilih tidak memiliki ikatan dalam bentuk apapun. Berbeda jika pilihan yang harus dipilih itu diajukan oleh mereka yang memiliki ikatan yang bentuknya bisa beragam. Tentu saja keadaan ini akan memposisikan yang memilih masuk ke dalam kondisi terjebak pada pilihan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman