Api Haga Mu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu, ada peristiwa yang sedikit “aneh” di satu kabupaten kita. Seorang wakil kepala daerah adu urat dengan seorang pedagang yang hendak ditertibkan agar tak menggelar lapak di tempat parkir.

Tentu saja, adu urat itu jadi makanan empuk para jurnalis untuk mengeksplornya menjadi santapan gurih buat berita bahkan opini medianya.

Tidak ketinggalan Herman Batin Mangku (HBM), dia juga ikut nimbrung menulis dengan gaya satir-nya, mengomentari sekaligus menelaah peristiwa ini.

Akibat membaca tulisannya, otak saya bekerja keras buat urun rembuk juga dari sudut lain. Akhirnya, memori otak menemukan kembali file joke daerah yang kerap jadi bahan buat bersendagurau jika ada anggota keluarga yang tidak maju-maju pendidikannya: Sekulah mak haga, ngaji mak haga, api haga mu?

Terjemahan bebasnya, sekolah tidak mau, ngaji tidak mau lalu apa mau mu? Tentu saja, anekdot itu berbeda-beda dalam dialek antardaerah. Namun, tidak dibahas soal dialek daerah tersebut di sini.

Kita bisa bayangkan, bagaimana kalau ini terjadi kepada pemimpin yang sudah bersusah payah ingin mewujudkan daerahnya baik, rapi dan asri dipandang tapi ada pedagang yang masih “ngeyel”.

Anekdot itu bisa diplesetkan jadi: Mbersih ko mak haga, diatur mak haga, pindah mak haga, api haga mu?

Tentu saja pemimpin seperti ini tidak seketika muncul dari muka bumi. Hanya pemimpin yang memiliki nyali dan tidak merasa berhutang budi atau berniat maju lagi.

Soal ada yang tidak suka dengan caranya itu biasa bahkan ada istilah daerah yang sering kami pakai “tungguk haga na” terjemahan bebasnya kesampaian maunya.

Beberapa wilayah atau beberapa persoalan di wilayah ini pendekatan model itu tampaknya diperlukan. Seperti yang juga di singgung oleh HBM pada tulisannya, salah satu sebabnya adalah karakter dari personal yang ada memang beragam.

Akibat dari amalgamasi bahkan asimilasi dan juga personifikasi, tidak salah jika seseorang terlepas dari budaya etnisnya, menjadi berperilaku seperti etnis lain yang dipersonifikasinya.

Oleh karena itu tidak salah jika ada adagium “perilakunya melebihi contohnya”. Pemimpin tegas, berani dan beradab sangat diperlukan dalam menghadapi kemajemukan kemauan dari yang dipimpinnya.

Soal ada yang suka dan tidak itu sudah menjadi hukum sosial; dan perlu diingat kita tidak akan bisa memuaskan semua orang, dan pemimpin bukan alat pemuas. Sejauh etika dan adab tetap dikedepankan, tidak perlu surut akan niat yang sudah dipancangkan.

Membetulkan yang salah, meluruskan yang bengkok, melancarkan yang mampet; adalah bagian dari tugas pemimpin. Tinggal beranikah pemimpin menghadapi ketidakpopuleran, itu yang sering menjadi penghalang.

Oleh karena itu, pemimpin menjadi harapan banyak orang, tetapi banyak orang belum tentu paham akan harapan pemimpin.

Walaupun sejatinya pemimpin yang yang dipimpin sudah terikat dalam satu sistem saling memerlukan; tidak salah jika dalam adagium daerah ada istilah “mak niku sapa lagi” yang terjemahan bebasnya kalau tidak kamu siapa lagi.

Filosofi ini menyiratkan beberapa hal:

Pertama, Tanggung jawab pribadi: Bahwa setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab terhadap perubahan atau kebaikan bersama—bukan hanya menunggu orang lain bertindak.

Kedua, Keberanian dan inisiatif: Seorang pemimpin sejati muncul bukan karena ditunjuk, tetapi karena ia berani melangkah ketika dibutuhkan.

Ketiga, Kepercayaan diri: Mengajak untuk percaya bahwa dia mampu membawa perubahan, meskipun mungkin merasa belum siap atau layak.

Keempat, Keteladanan: Pemimpin yang memegang prinsip ini menunjukkan bahwa tindakan nyata lebih kuat daripada hanya menyampaikan ide atau kritik.

Kelima, Kesadaran kolektif: Mendorong semangat kebersamaan, di mana perubahan dimulai dari diri sendiri sebelum mengandalkan pihak lain.

Semoga HBM tidak berhenti untuk menyuarakan terus gaung local wisdom dalam gegapgempitanya digitalisasi.

Banyak nilai-nilai luhur di tengah serakan budaya lokal yang ada; tinggal kita masih maukah menjaga marwah sebagai orang daerah yang berwawasan nasional berfikir global. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman