Berpisah, antara Takdir dan Kehendak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat menghadiri acara reunian di tempat sahabat karib beberapa waktu lalu, berjumpa dengan banyak teman-teman lama yang sekarang kami sudah menjadi “Oma dan Opa” berusia senja. Ada diantara mereka sudah hidup sendiri karena ditinggal “pulang” terlebih dahulu oleh pasangannya. Ada seorang Oma yang energik, beliau adalah senior kami. dan jika mengenalkan diri tidak mau menyebut diri ditinggal suami berpulang sekian tahun lalu; tetapi selalu dengan bahasa optimis memperkenalkan diri dengan berkata “Oma dari sekian belas cucu”. Karena dengan bahasa itu beliau merasa tidak sendirian, selalu ada orang yang membersamai dirinya. Luarbiasa semangat Oma ini karena masih mampu tampil di atas panggung ilmiah dengan membawakan pokok pokok pikiran tentang sesuatu hal dengan jernih dan runtut.

Kita tinggalkan sejenak para Oma tadi yang sedang bergembira dan kita telusuri terlebih dahulu tentang bepisah dalam hidup itu merupakan takdir atau kehendak. Sebab, dalam perjalanan hidup, manusia akan selalu bertemu dan berpisah. Pertemuan membawa kebahagiaan, harapan, bahkan cinta. Tapi perpisahan, meskipun pahit, adalah bagian tak terelakkan dari kisah kehidupan. Namun, satu pertanyaan yang sering muncul dalam benak banyak orang adalah: apakah perpisahan merupakan takdir yang tidak bisa kita hindari, atau justru kehendak yang kita pilih sendiri?

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Perpisahan bisa datang dalam berbagai bentuk—putus cinta, perceraian, kehilangan sahabat, keluar dari pekerjaan, bahkan kehilangan karena kematian. Setiap bentuknya membawa rasa sakit dan pemaknaan yang berbeda. Dan sering kali, sulit untuk menentukan apakah semua itu memang sudah digariskan atau kita sendiri yang memutuskannya.

Jika Kita Posisikan Perpisahan Sebagai Takdir

Dalam banyak tradisi kepercayaan, takdir adalah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini, perpisahan yang terjadi sering dianggap sebagai bagian dari garis hidup yang tidak bisa kita ubah. Takdir dipandang sebagai sesuatu yang harus diterima dengan ikhlas, karena manusia tidak selalu bisa memahami alasan di balik setiap kejadian.

Salah satu bentuk perpisahan yang paling jelas adalah kematian. Tidak ada satu pun manusia yang bisa memilih kapan dan bagaimana perpisahan dengan orang tercinta karena kematian akan terjadi. Kehilangan karena kematian adalah bentuk perpisahan yang paling kuat menunjukkan konsep takdir. Tidak peduli seberapa besar cinta atau usaha untuk menjaga, ketika waktu itu datang, manusia hanya bisa merelakan.

Selain itu, banyak pasangan atau sahabat yang harus berpisah karena kondisi yang tidak bisa dikendalikan. Misalnya, pasangan beda agama yang akhirnya harus merelakan hubungan karena tekanan sosial atau keluarga. Atau sahabat yang harus pindah ke negara lain dan secara perlahan kehilangan komunikasi. Dalam situasi seperti ini, banyak orang berkata, “Mungkin memang bukan jalannya.” Kalimat ini menandakan penerimaan terhadap takdir, seolah berkata bahwa ada hal-hal yang sudah ditentukan, dan tidak semua bisa dipaksakan.

Jika Kita Posisikan Perpisahan Sebagai Pilihan

Namun, tidak semua perpisahan bisa sepenuhnya diserahkan pada takdir. Ada kalanya, manusia sendiri yang memilih untuk berpisah. Pilihan ini bisa lahir dari kesadaran, kelelahan, atau keberanian untuk memulai sesuatu yang baru. Misalnya, dalam hubungan asmara yang tidak sehat. Ketika satu pihak merasa tidak dihargai, sering disakiti, atau terus hidup dalam tekanan emosional, maka memutuskan hubungan menjadi bentuk perlindungan diri. Ini bukan takdir, melainkan bentuk kehendak—keputusan sadar bahwa hidup harus berubah.

Begitu juga dalam konteks pekerjaan. Seseorang bisa saja memutuskan resign karena merasa tidak berkembang, tidak bahagia, atau ingin mencari tantangan baru. Ini adalah bentuk perpisahan yang dilakukan dengan pertimbangan matang. Tidak ada unsur “dipaksa”, melainkan murni keputusan pribadi. Dalam konteks ini, perpisahan menjadi wujud kebebasan memilih jalan hidup.

Keputusan untuk berpisah juga sering kali datang dari keberanian untuk menolak bertahan dalam kenyamanan semu. Banyak orang yang memilih untuk keluar dari hubungan yang tidak membawa kebahagiaan, meskipun di satu sisi masih ada rasa sayang. Ini menunjukkan bahwa kehendak manusia mampu melampaui rasa takut akan kesepian atau kehilangan.

Antara Takdir dan Kehendak

Meski begitu, tidak semua perpisahan bisa dikotak-kotakkan secara tegas sebagai takdir atau kehendak; sering kali, keduanya saling terkait. Banyak orang pada akhirnya berdamai dengan kenyataan bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Bahkan keputusan yang kita buat sendiri pun kadang berasal dari keadaan yang seolah sudah diatur sedemikian rupa. Dalam momen seperti ini, takdir dan kehendak berjalan berdampingan, saling mengisi, dan tidak bisa sepenuhnya dipisahkan.

Kesimpulan yang kita dapatkan bahwa kita tidak perlu memilih salah satu diantaranya sebab: apakah berpisah itu takdir atau kehendak? Jawabannya bisa keduanya. Ada perpisahan yang memang tidak bisa kita hindari, dan ada juga yang terjadi karena kita sendiri yang memilih jalan itu. Keduanya bukan untuk disalahkan, melainkan untuk dimaknai. Namun perlu disadari bahwa sekalipun “pilihan untuk berpisah sebagai opsi” itu diijinkan, akan tetapi ada perpisahan yang dimurkai Tuhan. Pertanyaan tersisa, sanggupkah kita menerima murka Tuhan saat kita kembali kelak.

Kasus lain yang juga dapat kita jadikan bahan perenungan; bagaimana merancang bertemu dengan sahabat sudah sejak 2018; namun baru bisa terwujud 2025; ternyata di sana ada tugas keilahian untuk membagi ilmu kepada pihak lain yang sedang mempersiapkan diri untuk mengembangkan lembaga. Betapa rencana bisa dikalahkan oleh takdir manakala kita mau memahami esensi dari kehidupan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman