Melepas dan Menerima

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Cuaca hari itu cukup sejuk karena mendung dari pagi sampai siang hari; sementara suasana di ruang kerja kantor agak sedikit menghangat karena sedang diskusi dengan beberapa teman selepas sholat dhuhur. Persoalan utama yang dibahas adalah kebersediaan orang untuk melepas dan menerima keadaan; sekalipun keadaan itu tidak mengenakkan. Pilihan untuk melepas dan menerima merupakan dinamika kehidupan; namun pada kenyataannya untuk bersikab berterima dengan apapun hasil dari suatu proses, tidak mudah untuk melakukan. Dalam kehidupan manusia, situasi kehilangan, kegagalan, dan perubahan seringkali menimbulkan tekanan emosional yang signifikan. Dua konsep penting yang sering dikaitkan dengan pemulihan psikologis dari kondisi tersebut adalah “melepas” (letting go) dan “menerima” (acceptance).

Setiap individu dalam hidupnya tidak terlepas dari pengalaman kehilangan, penolakan, atau perubahan drastis yang menguji ketahanan mental dan emosional. Dalam konteks tersebut, kemampuan untuk “melepas” dan “menerima” menjadi kunci penting dalam mencapai kesejahteraan psikologis. Meskipun kedua konsep ini sering muncul dalam narasi populer, secara akademik keduanya memiliki basis teoretis yang kuat, khususnya dalam pendekatan psikologi positif dan terapi berbasis mindfulness.

Selepas dari itu saat kembali keruang kerja ingat beberapa puluhtahun lalu waktu masih bekerja di kota empek-empek; ada peristiwa yang membekas sampai sekarang berkaitan dengan cerita perjalanan hidup seorang anggota pengamanan suatu lembaga. Namanya Pak No, begitu kami memanggil. Pada waktu itu usia sudah paruh baya. Rambutnya sudah dipenuhi uban, tapi tubuhnya masih tegap. Ia bekerja sebagai satpam di sebuah kantor swasta sudah selama hampir 15 tahun. Ia dikenal ramah, rajin shalat, dan tak pernah absen datang lebih awal dari jadwal baik ditempat bekerja, apalagi di musholah. Setiap pagi, ia berdiri di gerbang sambil memberi salam dan senyuman kepada para karyawan yang lewat. Ucapan renyahnya Pak No yang selalu menjadi ingatan semua orang:

“Assalamu’alaikum, Bu,”

“Selamat pagi, Pak. Semoga sehat selalu ya!”

Tak semua orang membalas. Tapi ia tak pernah berhenti memberi salam. Dalam hati, ia selalu berkata, “Memberi salam itu bagian dari sedekah. Mungkin dari sini rezeki saya diluaskan.”

Tapi hari itu berbeda. Setelah shalat Dzuhur di musholla kantor, ia dipanggil ke ruangan HRD. Seorang pria muda, manajer baru, menyampaikan kabar yang menampar hatinya:

“Mohon maaf Pak No.… Karena efisiensi perusahaan, posisi Bapak sebagai satpam tidak diperpanjang lagi kontraknya mulai akhir bulan ini.”

Pak No diam seribu bahas; dia menunduk, berusaha menahan air mata. Bukan karena malu, tapi karena bingung harus dengan apa memberi makan keluarganya bulan depan.

Pak No hanya berkata lirih, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Baik, Pak. Saya terima.”

Malam itu, di rumah kecil kontrakannya di pinggiran stasiun Kertapati, Pak No duduk bersama istrinya, Bu sholeha. Ia cerita dengan tenang, tanpa melebih-lebihkan. “Kalau memang Allah ingin aku berhenti sampai di sini, mungkin memang sudah waktunya,” ucapnya. Istrinya menggenggam tangannya seraya berkata. “Allah tidak pernah salah dalam menulis takdir untuk mahlukNYA. Kita tinggal sabar menunggu kelanjutannya.” Jawaban istri Pak No membuat sejuk dihati dan membuat dirinya lebih tegar dalam mengarungi hidup.

Hari-hari berikutnya gelombang ujian mulai datang. Uang pesangon habis untuk bayar kontrakan dan membeli kebutuhan pokok. Pak No sempat melamar pekerjaan di beberapa tempat, tidak memilih bekerja apa saja yang penting mendapatkan gaji halal; tetapi tidak ada panggilan untuknya.

Namun, ia tetap bangun pagi, shalat tahajud tidak pernah dia tinggalkan, juga shalat dhuha, lalu keluar rumah bukan untuk bekerja, tapi mencari peluang. Ia sempat jadi tukang parkir, lalu bantu bersih-bersih masjid, membersihkan selokan rumah tetangga; menyikat kamar mandi tetangga yang minta bantuan, mencuci mobil tetangga, bahkan reparasi payung-pun dijabanin; tak sekalipun ia mengeluh. Semua dilakoni dengan ihlas.

Suatu hari Jumat, setelah shalat di masjid, Pak No melihat seorang anak kecil berdiri di luar gerbang. Pakaiannya kotor dan ia menatap kotak infak masjid dari kejauhan. Pak No tidak berfikiran negatif; justru beliau bertanya:. “Mau infak, Nak?”. Anak itu mengangguk pelan. “Tapi uangnya tinggal seribu. Ini buat beli roti…”. Pak No tersenyum. Ia keluarkan uang dua ribu dari saku celananya—uang satu-satunya yang tersisa hari itu. Ia sodorkan ke anak itu sambil berkata: “Ambil ini, beli roti dua. Satu buat kamu, satu buat temenmu. Lain kali, kalau mau infak, kasih doa juga ya.”. Anak itu memeluk Pak No sejenak, lalu pergi sambil tersenyum lebar. Pak No menatapnya dengan haru. “Ya Allah, aku tidak punya apa-apa hari ini. Tapi semoga ini cukup sebagai bentuk syukurku kepada-Mu.”

Tiga hari kemudian, Pak No dicari oleh seorang yang tak dikenalnya. Suaranya sopan, memperkenalkan diri sebagai ustaz dari sebuah pesantren wakaf di luar daerah, dan berkata:“Kami sedang butuh penjaga keamanan untuk lingkungan pondok, yang bisa juga membimbing anak-anak santri tentang adab dan shalat. Kami dapat nama Bapak dari rekomendasi seorang warga masjid. Apakah Bapak bersedia?”

Pak No terdiam sejenak. Lalu menjawab, “Subhanallah… tentu saya bersedia, Pak.”

Mulailah babak baru dalam hidup Pak No. Ia tinggal di rumah kecil milik pondok bersama istri tercinta, diberi gaji cukup, makan dari dapur pondok, dan lebih penting lagi: ia kembali merasa dibutuhkan. Pak No sering berucap “Ya Allah, terima kasih karena Engkau ajarkan aku melepas dunia, dan menerima takdir-Mu dengan ridha. Ternyata, apa yang terlihat buruk di awal, bisa jadi jalan pulang menuju kebaikan yang lebih besar.”

Melepas bukan berarti kalah, dan menerima bukan berarti lemah. Dalam Islam, kita diajarkan untuk ikhlas atas apa yang Allah ambil, dan bersyukur atas apa yang Allah beri. Bahkan jika satu pintu tertutup, Allah bisa membuka pintu-pintu lain yang lebih berkah—asal kita tetap sabar dan percaya pada-Nya.

Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk mengelola dan merespons pengalaman emosional secara adaptif. Dalam banyak studi, kemampuan untuk melepaskan dan menerima telah terbukti berperan penting dalam proses regulasi emosi. Melepas dapat mengurangi intensitas emosi negatif yang bersumber dari keterikatan pada masa lalu, sedangkan penerimaan memungkinkan individu untuk tidak terjebak dalam siklus penolakan terhadap kenyataan. Dalam studi longitudinal oleh Shallcross, ditemukan bahwa individu yang mampu menerima emosi negatifnya secara sadar dan terbuka menunjukkan gejala depresi yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menolak atau menghindari perasaan tersebut.

Menariknya, banyak penelitian menunjukkan bahwa individu yang berhasil melalui fase “melepas dan menerima” justru mengalami pertumbuhan pribadi yang signifikan. Konsep post-traumatic growth (PTG) menjelaskan bahwa setelah mengalami peristiwa menyakitkan, banyak orang menemukan makna baru dalam hidup, memperkuat hubungan interpersonal, dan membangun kembali identitas diri yang lebih sehat. Dalam hal ini, proses pelepasan dan penerimaan tidak hanya menjadi alat bertahan, tetapi juga menjadi jembatan menuju transformasi psikologis yang lebih mendalam. Semoga kita mampu mengambil hikmah dari semua peristiwa yang kita alami selama hidup di dunia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman