Ikut atau Bawa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Salah seorang pemuka agama terkenal berceramah di muka jamaahnya, dan beliau berkata bahwa saat kita meninggal salah satu yang ikut adalah amal kita. Beliau membedakan antara ikut dan membawa: “Saat kita meninggal, amal akan ikut kita, baik yang baik maupun yang buruk. Jika bisa membawa, tentu kita akan pilih yang baik saja.” Kalimat ini terdengar seperti nasihat, tetapi jika direnungkan lebih dalam, ia adalah cermin bagi siapa pun yang hidup dan sadar bahwa setiap hari adalah ladang amal.

Berdasarkan penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa; amal, dalam makna yang luas, adalah segala bentuk perbuatan yang tampak maupun tersembunyi, yang ringan maupun berat, yang disengaja maupun tidak disengaja. Setiap tindakan manusia menyisakan jejak, dan jejak itu tidak lenyap ketika kita meninggal. Ia justru “mengikuti” kita, menjadi semacam identitas abadi yang dibawa menuju akhirat atau jika ingin lebih universal, menjadi warisan moral yang tercatat dalam sejarah keberadaan kita.

Kita sering berpikir bahwa kita adalah makhluk bebas yang bisa memilih apa saja dalam hidup. Namun kematian membatasi kebebasan itu. Saat tubuh kita ditinggalkan jiwa, tidak ada lagi ruang untuk memilih, yang bisa kita lakukan hanyalah menerima bahwa amal perbuatan kitalah yang menyertai perjalanan itu, baik amal baik maupun amal buruk. Itulah mengapa bagian kedua dari ungkapan itu begitu menggelitik nurani: “Jika bisa membawa, tentu kita akan pilih yang baik saja.” Benar sekali. Siapa yang ingin membawa dosa? Siapa yang ingin dikenang karena keburukannya? Tapi kita tidak bisa “membawa”; kita hanya bisa “diikuti”. Dan semua yang mengikuti itu adalah hasil dari pilihan-pilihan kita sendiri selama hidup di dunia ini. Oleh karena itu Tuhan sudah mengingatkan kepada kita semua bahwa satu permintaan orang kubur jika dibolehkan hidup sebentar saja di dunia, yaitu ingin berbuat baik; karena hanya perbuatan baiklah yang memudahkan kita segalanya di sana.

Maka dari itu, esensi dari ungkapan ini adalah kesadaran: sadar bahwa hari ini adalah kesempatan untuk menanam amal baik, sadar bahwa setiap tindakan adalah pilihan antara membawa kebaikan atau menambah beban, dan sadar bahwa kematian bukan akhir, melainkan awal dari pertanggungjawaban. Dalam dunia yang penuh godaan dan hiruk-pikuk, mudah sekali lupa bahwa hidup adalah tentang menyiapkan “bekal” yang tak terlihat. Tidak ada yang salah dengan mencari kebahagiaan duniawi, tetapi jika kita lupa bahwa hidup ini juga soal apa yang kita tinggalkan—baik dalam arti amal maupun pengaruh—maka kita sedang berjalan menuju akhir dengan tangan kosong.

Jadi, selama masih ada waktu, mari isi hidup ini dengan perbuatan yang akan “mengikuti” kita dengan bangga. Sebab kelak, saat kita tidak bisa memilih lagi, semoga yang mengikuti adalah kebaikan yang kita tanam dengan tulus. baik saja yang akan kita bawa. Oleh sebab itu tidak salah penjelasan pemuka agama ini lebih lanjut bahwa jika amal baik atau buruk itu akan ikut karena di sana ada pertanggungjawaban, sementara jika membawa berarti kita akan memilih yang baik-baik saja.

Manusia hidup dalam rentang waktu yang terbatas, tetapi setiap perbuatannya meninggalkan jejak yang tidak akan lenyap begitu saja. Dalam berbagai tradisi spiritual, termasuk ajaran agama-agama besar di dunia, terdapat keyakinan bahwa amal perbuatan seseorang—baik yang baik maupun yang buruk—akan menyertainya setelah kematian.

Ketika seseorang meninggal dunia, segala bentuk amal ini tidak serta merta hilang. Sebaliknya, ia “mengikuti” si pelaku, seolah menjadi bagian dari dirinya. Dalam tradisi Islam, konsep ini dikenal dengan istilah hisab—yakni perhitungan amal yang akan dilakukan di akhirat kelak. Makna penting dari ini adalah: amal tidak bisa dipisahkan dari diri kita. Ia bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, disembunyikan, atau dibuang. Ia melekat dan akan muncul kembali pada saat yang paling menentukan.

Kita tidak bisa memilih bagian mana dari sejarah hidup kita yang ingin kita tampilkan. Seperti rekaman yang jujur, hidup menyimpan semuanya dan tanpa edit, tanpa sensor. Maka pernyataan peringatan yang menyatakan: sekaranglah saatnya memilih, bukan nanti. Karena nanti sudah terlalu terlambat. Inilah yang membuat filosofi ini begitu kuat: ia menegaskan pentingnya kesadaran penuh dalam menjalani hidup, sebab setiap tindakan memiliki konsekuensi.

Ungkapan ini juga mengandung filosofi tentang kesadaran moral, yaitu dorongan untuk terus-menerus menilai dan mengevaluasi tindakan kita agar terus berada pada nilai kebaikan. Bukan karena ingin dipuji, tapi karena sadar bahwa kebaikan adalah satu-satunya “bekal” yang akan setia menemani kita setelah tubuh ini tiada.

Kita hidup di dunia yang penuh distraksi. Nilai dan standar seringkali ditentukan oleh hal-hal eksternal: status sosial, kekayaan, atau popularitas. Namun pada akhirnya, yang akan mengikuti kita bukanlah itu semua, melainkan amal dan perbuatan kita. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman