Api Dibalik Kekuasaan (Refleksi Filsafat Kontemporer atas “Kebakaran Jenggot” Para Pejabat)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hampir setiap pekan kita disuguhi berita bagaimana pejabat tinggi negeri ini terusik oleh kerja-kerja Menteri Keuangan. Bahkan salah seorang petinggi perminyakan “mencak-mencak” menggunakan bahasa vulgar yang tidak elok didengar.

Sebelumnya juga ada pejabat senior yang juga mantan atasan Menteri Keuangan, merasa tidak nyaman dengan kelakuan mantan anak buahnya. Demikian juga ada kepala daerah yang terusik, seolah terzalimi oleh kelakuan Sang Menteri; walaupun sesungguhnya dia membuka kebodohannya sendiri.

Tampaknya fenomena sosial-politik di Indonesia akhir-akhir ini memperlihatkan dinamika menarik yang menggugah kesadaran publik. Banyak pejabat publik tiba-tiba “kebakaran jenggot” setelah tindakan tegas dari Menteri Keuangan mengungkapkan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan praktik kecurangan yang selama ini tersembunyi di balik retorika pelayanan publik.

Ungkapan “kebakaran jenggot” di sini bukan sekadar idiom humor, melainkan metafora filosofis tentang bagaimana kekuasaan, moralitas, dan kebenaran saling berkelindan dalam arena politik modern. Fenomena ini dapat dibaca bukan hanya sebagai peristiwa administratif atau hukum, tetapi sebagai cermin eksistensial dari krisis kejujuran dan tanggung jawab yang melekat dalam struktur kekuasaan kontemporer.

Filsafat kontemporer memandang kekuasaan bukan semata sebagai instrumen untuk mengatur masyarakat, melainkan sebagai medan di mana kebenaran dan kepalsuan bertarung secara halus. Dalam konteks ini, tindakan seorang pejabat tinggi yang berani menyingkap penyimpangan dapat dimaknai sebagai peristiwa pembongkaran tabir: suatu momen ketika kebenaran yang selama ini disembunyikan muncul ke permukaan dan memaksa struktur kekuasaan untuk menatap dirinya sendiri.

Ketika pejabat-pejabat lain “kebakaran jenggot”, itu menandakan bukan hanya ketakutan terhadap konsekuensi hukum, tetapi juga kecemasan eksistensial karena topeng moral yang selama ini dipakai mulai terbakar oleh nyala kebenaran.

Fenomena semacam ini mengingatkan bahwa kekuasaan selalu menyimpan paradoks. Ia menjanjikan kemampuan untuk menciptakan keteraturan, tetapi dalam praktiknya sering menjadi sumber kekacauan moral. Di dalam ruang birokrasi, logika efisiensi dan kepatuhan sering kali menggantikan logika tanggung jawab etis. Pejabat yang semestinya menjadi pelayan publik justru terjebak dalam permainan citra, angka, dan laporan yang tampak indah di permukaan.

Filsafat kontemporer melihat ini sebagai bentuk alienasi baru: individu terasing dari makna sejati pekerjaannya karena sistem mendorongnya untuk lebih peduli pada performa administratif ketimbang integritas. Maka, ketika sistem keuangan negara mulai menuntut transparansi dan akuntabilitas secara ketat, rasa terancam itu muncul bukan karena ketidakadilan, melainkan karena realitas mulai menyingkap kepalsuan yang ada selama ini, sudah dianggap wajar.

Kebakaran jenggot para pejabat itu juga dapat dibaca sebagai krisis identitas. Dalam tatanan sosial modern, posisi pejabat bukan hanya jabatan administratif, melainkan simbol status sosial, penghormatan, dan otoritas moral. Ketika simbol itu terguncang, individu di baliknya harus menghadapi kehampaan eksistensial: siapakah dirinya tanpa kekuasaan itu?

Di sinilah muncul ketakutan mendalam yang jauh melampaui urusan hukum atau karier. Ini adalah ketakutan akan kehilangan makna hidup yang dibangun di atas legitimasi palsu. Dalam kacamata filsafat kontemporer, ini adalah momen dekonstruktif, di mana subjek yang selama ini menganggap dirinya pusat kekuasaan justru disadarkan bahwa ia hanyalah bagian dari jaringan relasi yang lebih besar, dan relasi itu kini menuntut kejujuran.

Tindakan tegas dari otoritas keuangan dalam konteks ini dapat dilihat sebagai momen etis yang langka. Ia mengganggu kenyamanan sistem yang sudah terbiasa dengan kompromi dan penyesuaian moral. Dalam pandangan filosofis, tindakan semacam ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga bentuk praksis moral yang menantang tatanan simbolik.

Di tengah budaya birokrasi yang kerap memisahkan etika dari kebijakan, munculnya figur yang menegakkan prinsip dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap nihilisme structural; yaitu keadaan ketika nilai-nilai kehilangan bobot karena semuanya bisa dinegosiasikan.

Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang absolut dan tunggal, melainkan hasil dari pergulatan terus-menerus antara wacana dan kekuasaan. Maka, ketika seorang pejabat berani menyingkap penyimpangan, tindakan itu bukan hanya menyingkap fakta, tetapi juga menantang struktur wacana yang telah mapan. Ia mengganggu keseimbangan semu yang selama ini dijaga oleh kompromi diam-diam antara kekuasaan dan kenyamanan. Reaksi “kebakaran jenggot” menunjukkan bahwa tindakan itu berhasil mengguncang fondasi simbolik yang rapuh.

Namun filsafat kontemporer juga mengingatkan bahwa perubahan sejati tidak cukup hanya dengan menyingkap kesalahan individu. Struktur yang memungkinkan penyimpangan itu harus turut dikritik. Ketika sistem insentif, budaya birokrasi, dan mekanisme pengawasan masih memungkinkan penyalahgunaan, maka tindakan moral seorang pejabat hanya menjadi percikan kecil di tengah hutan kering.
Nyala api itu bisa padam, atau sebaliknya, membakar seluruh sistem hingga hangus. Maka tantangan filosofis bagi masyarakat modern adalah bagaimana menjaga agar api kebenaran tidak berubah menjadi bara destruktif, tetapi menjadi cahaya yang menerangi jalan reformasi berkelanjutan.

Pada akhirnya, kebakaran jenggot para pejabat akibat ulah Menteri Keuangan bukan sekadar kisah politik, melainkan kisah tentang manusia. Ia memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat menipu, bagaimana kebenaran dapat membakar, dan bagaimana moralitas dapat lahir kembali dari puing-puing kebohongan. Dalam pandangan filsafat kontemporer, momen seperti ini adalah titik balik; bukan karena sistem telah bersih, tetapi karena kesadaran akan kerapuhan sistem itu mulai muncul. Dari kesadaran inilah perubahan sejati mungkin dimulai.

Api memang menakutkan, tetapi ia juga menerangi. Di tengah kepanikan para pejabat yang terbakar oleh kebenaran, masyarakat seharusnya tidak hanya menyoraki, tetapi belajar. Sebab setiap manusia, dalam skala kecil maupun besar, memiliki potensi untuk terjebak dalam godaan kekuasaan dan kepalsuan.

Kebakaran jenggot para pejabat adalah cermin bagi kita semua; bahwa dalam kehidupan sosial, integritas bukan sekadar slogan, melainkan perjuangan terus-menerus melawan api dalam diri sendiri. Jika bangsa ini ingin maju, maka nyala api kebenaran itu harus dijaga, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan keberanian untuk terus menatapnya tanpa berpaling. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Api yang Membakar Diri Sendiri

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu mendapat kiriman keluhan dari sahabat lama tentang kondisi saat ini, melalui media sosialnya. Beliau mengeluh penggunaan media sosial yang sangat vulgar saat ini oleh banyak kalangan, dan beliau mempertanyakan bagaimana pendidikan etika saat ini yang sudah tergerus oleh teknologi. Rasa malu yang sudah entah minggat kemana, sehingga banyak orang sudah tidak memilikinya. Bisa dibayangkan ucapan bahkan aibnya sendiri diumbar tanpa rasa sungkan, apalagi risi. Keluhan sahabat tadi memicu dawai rasa untuk menuliskan apa yang sedang terjadi dari kacamata filsafat kontemporer.

Dunia maya kini telah menjadi panggung besar tempat manusia menampilkan segala sisi dirinya tanpa batas. Di sana, segala hal mengalir begitu cepat; pikiran, perasaan, bahkan hasrat yang paling pribadi sekalipun. Media sosial yang dahulu digadang sebagai alat untuk memperluas wawasan dan mempererat koneksi antarmanusia, kini tampak seperti ruang yang berisik, vulgar, dan sering kali kehilangan arah moral. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah ini merupakan kegagalan pendidikan? Ataukah justru ini adalah cermin jujur dari wajah pendidikan itu sendiri, yang sejak awal mungkin telah kehilangan jiwanya?

Jika kita menelusuri akar persoalannya, tampak bahwa media sosial bukanlah penyebab tunggal dari lunturnya moralitas. Ia hanyalah media, bagai cermin besar tempat manusia menatap pantulan dirinya sendiri. Namun ketika pantulan itu tampak kabur, penuh dengan ekspresi syahwat, ego, dan narsisisme, maka yang patut disalahkan bukan cerminnya, melainkan wajah yang dipantulkan di dalamnya. Media sosial, dalam hal ini, hanya memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi nilai yang ditanamkan oleh sistem pendidikan dan kebudayaan kita. Ketika seseorang dengan mudah menayangkan tubuhnya, amarahnya, bahkan kehinaannya kepada dunia tanpa rasa malu, maka sesungguhnya ia sedang menegaskan bahwa nilai-nilai tentang rasa hormat, batas, dan tanggung jawab tidak lagi menjadi bagian dari kesadarannya.

Pendidikan yang sejati seharusnya tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan. Namun yang terjadi kini, pendidikan lebih sering berperan sebagai pabrik pengetahuan, yaitu mengajarkan manusia untuk memahami rumus, teori, dan konsep, tapi tidak untuk memahami dirinya sendiri. Manusia didorong untuk menjadi cerdas, produktif, dan kompetitif, tetapi tidak diarahkan untuk menjadi arif, sadar, dan beradab. Maka tak heran jika hasilnya adalah generasi yang pandai memanfaatkan teknologi, namun kehilangan arah dalam menggunakannya. Mereka mampu mengolah gambar, kata, dan algoritma, tetapi tak mampu mengolah makna, rasa, dan tanggung jawab.

Dari sudut pandang filsafat kontemporer, krisis moral di media sosial bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah gejala dari krisis yang lebih dalam: hilangnya pusat nilai dalam kehidupan manusia modern. Dunia digital hidup dalam logika yang serba cepat, instan, dan visual. Nilai-nilai moral yang sejatinya tumbuh dalam permenungan dan refleksi menjadi tidak kompatibel dengan ritme digital yang tak memberi ruang bagi jeda. Segalanya harus segera: berpikir cepat, bereaksi cepat, menilai cepat. Dalam situasi seperti itu, moralitas yang membutuhkan kedalaman justru dianggap tidak relevan. Manusia menjadi seperti bayangan yang bergerak cepat tanpa arah, mengikuti arus data dan tren tanpa sempat bertanya: untuk apa semua ini?

Pendidikan moral yang diajarkan di sekolah sering kali berhenti pada tataran normative, yaitu sekadar daftar larangan dan perintah. Ia tidak lagi berbicara kepada hati dan kesadaran manusia, melainkan hanya kepada kepatuhan formal. Maka ketika individu masuk ke dunia yang tidak memiliki pengawasan langsung, seperti media sosial, ia kehilangan orientasi. Tanpa rasa takut pada otoritas eksternal, ia menunjukkan siapa dirinya sebenarnya: produk dari pendidikan yang gagal menanamkan kesadaran moral intrinsik. Dalam arti itu, benar bahwa kebobrokan moral di media sosial adalah kegagalan pendidikan, tetapi bukan kegagalan yang terjadi di ruang kelas belaka. Ia adalah kegagalan kolektif; kegagalan keluarga, masyarakat, bahkan sistem nilai yang menopang kehidupan bersama kita.

Menyalahkan pendidikan semata juga tidak cukup. Ada dimensi lain yang harus disadari: teknologi digital sendiri dibangun di atas logika kapitalisme global yang memonetisasi perhatian. Setiap klik, setiap gambar vulgar, setiap ekspresi emosi ekstrem memiliki nilai ekonomi. Platform digital dirancang untuk menstimulasi bagian otak yang haus akan penghargaan instan. Dalam ekosistem semacam ini, nilai moral tidak memiliki tempat yang menguntungkan secara finansial. Maka tidak mengherankan bila yang paling cepat menyebar adalah yang paling sensasional, bukan yang paling bernilai. Dalam arus itu, individu yang telah kehilangan kesadaran etis akan mudah terseret, mengira bahwa popularitas adalah ukuran kebermaknaan.

Ironisnya, di tengah kebisingan media sosial, manusia modern justru semakin kesepian. Ia mengumbar diri bukan karena percaya diri, tetapi karena haus pengakuan. Ia berteriak di ruang digital karena tak lagi mampu mendengar dirinya sendiri. Dalam kondisi ini, pendidikan moral seharusnya tidak lagi berbicara dengan bahasa hukuman dan dogma, melainkan dengan bahasa kesadaran dan empati. Ia harus mengajarkan manusia untuk menatap ke dalam, menyadari keterbatasannya, dan menghargai martabat dirinya sendiri.
Maka, pada akhirnya, apa yang kita saksikan di media sosial bukan hanya kegagalan pendidikan, melainkan juga kesempatan bagi manusia untuk memulai kembali. Dunia digital telah memperlihatkan betapa rapuhnya kita, dan kesadaran atas kerapuhan itu seharusnya menjadi titik tolak untuk membangun sistem pendidikan yang lebih manusiawi, pendidikan yang mengajarkan bagaimana menggunakan kebebasan dengan bijak, bagaimana menjaga kehormatan diri di tengah keterbukaan tanpa batas, dan bagaimana menjadi manusia yang utuh di tengah arus data yang melenakan.

Kebebasan yang sejati bukanlah kebebasan untuk menelanjangi diri, melainkan kebebasan untuk memilih tetap bermartabat ketika semua orang kehilangan rasa malu. Jika media sosial kini menjadi ruang yang vulgar, maka solusinya bukan dengan menutup ruang itu, melainkan dengan membuka kesadaran kita sendiri. Karena pada akhirnya, pendidikan moral yang paling hakiki tidak diajarkan di sekolah, melainkan dimulai dari keberanian untuk menatap diri dan bertanya: sudahkah aku benar-benar manusia di tengah dunia yang begitu bebas ini? Jawabannya kembali kepada hati nurani kita masing-masing yang paling dalam. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ketika Kenangan Menjadi Rumahnya Jiwa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu kondisi sedang tidak baik-baik saja; entah mengapa otak sedang tidak mau diajak berfikir, rasa sedang tidak mau diajak “duduk”. Akibatnya untuk melakukan apapun, seolah kehilangan daya dorong; dan hanya bisa “deleg-deleg” dikursi kerja. Entah inspirasi atau keisengan, membuka media, terdengar lagu lawas oleh seorang maestro lagu daerah mendendangkan irama “Nganti mati ora bakal lali… la kae… lintange mlakuuu”. Ternyata dari penggalan itu dawai filsafat mulai bekerja untuk medorong pikir dan menuang rasa pada layar putih sebagai papan rekam kerja.

Kalimat ini bukan hanya sekadar barisan kata dengan nada puitis atau melankholis. Akan tetapi ungkapan rasa, sekaligus pernyataan eksistensial tentang pengalaman manusia yang paling hakiki: memiliki, kehilangan, mengingat, dan tetap menjaga dalam diam. Di dalamnya terletak inti dari keberadaan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari relasi dengan waktu, rasa, dan makna, sekalipun itu sudah menjadi masa lampau. Dan jika kita menyelami lebih dalam, maka kita akan menem ukan bahwa kalimat itu tidak hanya bicara tentang suka, akan tetapi juga tentang bagaimana manusia menjalani kehidupan sebagai makhluk yang sadar, merasa, dan berpikir: tentang siapa dirinya, apa yang telah terjadi, dan mengapa ia tidak bisa melupakan.

Manusia hidup dalam waktu, tapi tidak hanya sebagai penumpang pasif. Ia merasakan waktu itu, dan dia menyimpan masa lalu dalam bentuk kenangan, membayangkan masa depan dalam bentuk harapan, dan berusaha memahami keduanya melalui permenungan yang berlangsung di masa k ini. Dalam proses itu, ada pengalaman-pengalaman tertentu yang tidak sekadar berlalu, tetapi membekas dan tinggal menetap. Laksana bintang yang pernah menyala terang di langit malam, kenangan itu tidak padam begitu saja meski telah jauh atau bahkan hilang dari pandangan. Justru karena ia pernah begitu terang, begitu nyata, maka lintangnya terus berjalan di langit hati, menjadi cahaya kecil yang menuntun langkah, kadang juga menjadi luka, namun tetap terus dihidupi.

Kenangan bukan sekadar ingatan. Ia adalah bagian dari struktur batin manusia. Setiap kenangan membawa serta rasa, makna, bahkan identitas. Ketika seseorang mengatakan, “aku tidak akan pernah lupa,” itu bukan sekadar karena ia tidak mau lupa, tapi karena ia tidak bisa. Lupa bukan pilihan, karena yang dikenang sudah melebur menjadi bagian dari jati diri. Maka, jika ada satu momen yang begitu dalam, maka kehadirannya tidak pernah benar-benar hilang. Meski secara fisik telah berlalu, ia terus hidup dalam bentuk lain: sebagai lintang yang mlaku, bintang yang berjalan, yang tetap menyala, menembus batas waktu dan ruang.

Dalam lintasan filsafat, manusia bukan sekadar tubuh yang hidup, tapi juga subjek yang mengalami. Ia tidak hanya menjalani hidup, tapi juga merefleksikannya. Ia merasakan kehilangan, dan tidak berhenti pada rasa sakit, tetapi mencoba memahami apa arti kehilangan itu. Di situlah muncul kesadaran mendalam bahwa tidak semua yang hilang bisa digantikan. Ada hal-hal yang hanya terjadi sekali dalam hidup, dan ketika ia lewat, yang tersisa hanyalah kenangan. Tapi justru karena ia hanya sekali itulah, ia menjadi sangat berarti. Maka, tidak mengherankan jika banyak manusia lebih mengingat satu momen tertentu daripada seribu hari biasa. Sebab, ada yang tak bisa diulang, tak bisa diganti, tak bisa dihapus. “Lintang iku wis mlaku, tapi padhange isih katon”.

Setiap manusia pernah memiliki lintang masing-masing. Masing-masing punya cahaya sendiri, punya orbit sendiri, dan berjalan mengikuti irama batin manusia itu sendiri. Dan meski waktu terus bergerak, dan segala hal berubah, lintang itu tetap “mlaku”, sebagai pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang ada di depan mata, tetapi juga tentang apa yang pernah ada dan masih menyala di dalam hati.

Filsafat manusia bependapat bahwa kenangan bukan beban, tetapi dia dia bisa menjadi rumah. Dalam dunia yang terus berubah, di mana segala hal bisa pergi begitu cepat, kenangan adalah tempat pulang. Ia memberi kehangatan, memberi makna, memberi rasa bahwa hidup pernah sangat dalam. Tentu, rumah itu kadang sunyi, kadang penuh air mata, kadang juga penuh tawaria. Tetapi justru di sanalah keaslian manusia hadir. Ia tidak menyembunyikan apa-apa. Ia mengakui, ia menerima, dan ia menyimpan semuanya sebagai bagian dari hidup yang penuh warna.

Hidup manusia adalah rangkaian dari hadir dan tiada, datang dan pergi, menyala dan padam. Tapi cahaya sejati bukan yang paling terang, melainkan yang paling bertahan. Dan lintang-lintang kenangan itulah yang bertahan. Ia mungkin tidak menyilaukan, tapi selalu ada. Ia menjadi cahaya yang halus, tapi tak bisa padam. Bahkan ketika tubuh telah lelah, ketika napas telah satu-satu, lintang itu masih ada. Maka, ketika seseorang berkata “nganti mati ora bakal lali,” ia bukan sedang mengikat dirinya pada masa lalu, melainkan sedang menegaskan bahwa pengalaman yang sejati tidak bisa mati. Ia melampaui waktu. Ia abadi dalam bentuk yang tak kasat mata.

Akhirnya, ketika seseorang mengucapkan “la kae… lintange mlakuuu,” itu adalah seruan yang lahir dari perpaduan antara rasa yang paling dalam, kehilangan, dan penerimaan. Ia bukan sekadar ratapan, tetapi juga pengakuan. Pengakuan bahwa hidup tidak bisa selalu dipegang, tapi bisa diingat. Bahwa tidak semua kebahagiaan bisa diulang, tapi bisa disyukuri. Dan bahwa tidak semua cahaya bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Itulah kenapa lintang tetap mlaku. Karena ia hidup bukan di langit sana, tapi di dalam dada manusia yang tahu caranya mengenang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Pasar Ilang Kumandange

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir-akhir ini dalam media sosial banyak menampilkan pasar yang ditinggalkan pembeli; dari pasar besar setingkat grosir, sampai pasar ditingkat kecamatan, bahkan pedesaan. Peristiwa ini mengingatkan pesan Pujangga Besar pada jamannya, yaitu Ranggawarsita, yang mengulas tanda-tanda “jaman” yang mengarah kepada “kehancuran”. Sebelum lebih jauh kita membahas, sebaiknya kita memahami siapa Ranggawarsita itu. Beliau adalah pujangga besar Jawa dari Surakarta (1802–1873), dikenal sebagai pujangga terakhir Keraton. Ia menulis karya sastra dan ramalan berisi kritik sosial serta kebijaksanaan hidup. Beberapa karya terkenal Ranggawarsita antara lain: Serat Kalatidha, Serat Sabdajati, Serat Wedhatama, Serat Pustakaraja Purwa, dan Serat Jaka Lodhang. Ranggawarsita memang dikenal sebagai penulis Serat Jangka Jayabaya, sebuah karya yang berisi ramalan-ramalan masa depan, termasuk tentang hilangnya keramaian pasar. Dalam Serat Jangka Jayabaya, terdapat petikan yang berbunyi:

“Mbesuk yen ana kreta mlaku tanpo jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang, kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange.”

Secara keseluruhan, “Pasar Ilang Kumandange” adalah bagian dari ramalan Jayabaya yang menggambarkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam hal hilangnya keramaian pasar tradisional.

Ungkapan “pasar ilang kumandange” selalu menggema sebagai salah satu frasa paling puitis sekaligus paling getir dari khazanah kebijaksanaan Jawa. Di dalamnya tersimpan renungan yang jauh melampaui sekadar keluhan sosial atau ramalan masa depan. Ia adalah pantulan kesadaran seorang pujangga yang menyaksikan dunia berubah begitu cepat, dan manusia di dalamnya perlahan kehilangan gema dirinya sendiri.

Pasar dalam pandangan budaya Jawa bukanlah sekadar tempat transaksi. Ia adalah lambang dari kehidupan dunia, tempat manusia saling bertemu, bertukar bukan hanya barang tetapi juga rasa, pandangan, bahkan nasib. Suara pasar seperti: tawar-menawar, tawa, teriakan, panggilan, dan canda, itu adalah simbol dari denyut kehidupan manusia itu sendiri. Maka ketika sang pujangga berkata “pasar ilang kumandange”, yang ia maksud bukan sekadar pasar sepi pembeli, tetapi dunia yang kehilangan getar kehidupan. Suara manusia meredup, interaksi menjadi dingin, dan dunia berubah menjadi ruang tanpa gema.

Di sini, kata “kumandang” menjadi sangat penting. Dalam bahasa Indonesia, kumandang berarti suara yang bergema, pantulan bunyi yang menandakan adanya kehidupan, ruang, dan kehadiran. Tetapi dalam kedalaman batin Jawa, kumandang juga berarti getaran hidup yang menyatukan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Hilangnya kumandang berarti padamnya resonansi antara manusia dan dunia, antara lahir dan batin, antara cipta, rasa, dan karsa. Dunia tetap ada, tetapi kehilangan jiwa.

Dalam konteks itu, “pasar ilang kumandange” dapat dibaca sebagai pernyataan ontologi, yaitu dunia kehilangan “ada”-nya. Ranggawarsita melihat bagaimana arus zaman membawa manusia masuk ke dalam dunia yang penuh aktivitas tetapi miskin makna. Orang bekerja, berdagang, bergaul, namun semua berlangsung tanpa kesadaran mendalam. Aktivitas menjadi rutinitas, relasi menjadi mekanis, dan kehidupan menjadi semacam mesin yang berjalan tanpa tujuan spiritual. Dunia yang dulu hidup kini menjadi kosong, seperti wadah tanpa isi. Inilah yang disebut krisis ontologis: keberadaan kehilangan kehadirannya. Dalam istilah para pemikir modern, manusia telah lupa akan keberadaan; ia terperangkap dalam kejatuhan eksistensial, hidup di tengah hiruk-pikuk tanpa sempat mendengarkan gema dirinya sendiri.

Dalam pandangan Jawa, dunia bukanlah sekadar ruang material. Dunia adalah harmoni antara jagad gedhe (alam semesta), jagad cilik (manusia), dan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan Ilahi). Ketika pasar kehilangan kumandangnya, berarti keseimbangan antara tiga ranah itu telah rusak. Manusia tidak lagi berelasi dengan alam secara selaras, tidak lagi berinteraksi dengan sesamanya secara hangat, dan tidak lagi menyapa Tuhan secara khusyuk. Dunia menjadi bisu bukan karena tidak ada suara, tetapi karena manusia tidak lagi mampu mendengar.

Krisis yang digambarkan Ranggawarsita kini menemukan bentuk paling nyata dalam dunia modern. Kita hidup di zaman ketika pasar benar-benar kehilangan kumandangnya dalam arti harfiah. Pasar tradisional yang dulu menjadi ruang sosial kini tergantikan oleh layar-layar digital. Interaksi manusia berpindah dari tatapan mata menjadi ketukan jari. Suara manusia berganti dengan notifikasi. Kumandang berubah menjadi algoritma. Dunia menjadi sangat efisien, tetapi juga sangat sunyi. Manusia saling terhubung, tetapi tidak benar-benar bersentuhan. Teknologi menciptakan kenyamanan, namun sekaligus menjarakkan manusia dari rasa kemanusiaannya sendiri.

Ungkapan “pasar ilang kumandange” pada akhirnya bukanlah kutukan, melainkan peringatan. Ia adalah ajakan untuk merenung tentang makna menjadi manusia di tengah perubahan yang tak terbendung. Ia mengingatkan bahwa suara sejati kehidupan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri yang sadar. Selama manusia masih mampu mendengar gema batinnya, selama ia masih bisa merasakan denyut kehidupan yang sejati, maka kumandang itu tidak akan benar-benar hilang. Dunia akan tetap bergema, dan manusia akan tetap menjadi manusia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Waktu “Surup”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ingat pada waktu kecil dahulu, bila senja sudah tiba, warna langit berubah jingga yang biasa disebut dengan Candikolo, dan setelahnya temaram menuju gelap. Waktu seperti itu oleh orang Jawa disebut “Surup”. Dan. Jika waktu itu tiba Ibu pasti memanggil kami anak-anaknya guna memastikan apakah sudah masuk rumah. Selanjutnya beliau akan menutup pintu menyalakan “dimar” atau lampu teplok; yaitu lampu minyak tanah yang diberi sumbu dan diberi penutup kaca. Entah mengapa, sore itu saat menuju mushala dekat rumah, kenangan itu berkelebat dalam angan dan bayang. Sepulang dari menunaikan kewajiban shalat, tergerak untuk menelusuri makna surup itu dari kacamata filsafat manusia; yang sejatinya setiap kita akan mengalami waktu “surup-nya kehidupan”.

Di dunia ini, setiap peristiwa alam sesungguhnya menggambarkan hakikat kehidupan manusia. Tidak ada yang terjadi tanpa makna, dan tidak ada yang berjalan tanpa sebab. Di antara berbagai tanda yang dihadirkan Tuhan, waktu surup adalah salah satu simbol yang sarat makna. Surup bukan sekadar perubahan warna langit dari jingga menjadi gelap, melainkan lambang dari transisi, peralihan antara terang dan gelap, antara hidup dan mati, antara kesadaran dan keheningan. Di sinilah filsafat kehidupan menemukan cerminnya, sebab dalam waktu surup manusia belajar mengenali hakikat dirinya sebagai makhluk yang selalu berubah, yang tidak kekal, dan yang pada akhirnya akan melewati masa senja kehidupannya sendiri.

Ketika langit mulai menebar warna merah keemasan dan burung-burung pulang ke sarang, muncul suasana hening yang khas. Dunia seolah berhenti sejenak, menggantung di antara terang dan gelap. Keheningan itu memberi pesan bahwa segala sesuatu yang hidup akan mengalami perubahan. Tak ada yang abadi. Manusia yang dahulu muda dan kuat, lambat laun akan memasuki masa surup kehidupannya , saat tenaga berkurang, ketika suara hati lebih nyaring daripada suara ambisi. Dalam waktu seperti itu, manusia belajar menerima kenyataan bahwa satu-satunya hal yang tetap dalam hidup adalah perubahan itu sendiri.

Pandangan orang Jawa, surup tidak hanya berarti waktu secara fisik, tetapi juga waktu yang simbolis. Ia adalah momen ketika kekuatan alam berganti arah, ketika keseimbangan antara terang dan gelap terjadi sesaat. Suasananya lembut, udara terasa tenang, dan perasaan menjadi lebih peka. Bagi manusia yang waspada, surup adalah saat paling tepat untuk menyadari keberadaannya, untuk menengok ke dalam diri. Sebab ketika cahaya luar mulai redup, cahaya dari dalam hati seharusnya menyala agar tidak tersesat dalam gelap. Di sinilah makna filosofisnya tampak jelas: ketika dunia luar menjadi gelap, manusia harus menyalakan terang di dalam dirinya.

Manusia hidup di antara terang dan gelap. Dalam terang, ia berbuat, bekerja, dan mencipta. Dalam gelap, ia merenung, menahan diri, dan berserah. Surup adalah garis tipis di antara keduanya, tempat di mana manusia diajak untuk memandang dua sisi itu dengan bijak. Surup tidak memaksa manusia memilih antara terang atau gelap, tetapi mengajarkan keseimbangan ; bahwa keduanya adalah bagian yang sama penting dari kehidupan.

Pada akhirnya, setiap manusia akan mengalami waktu surup-nya sendiri-sendiri. Tak seorang pun bisa menghindar dari masa ketika cahaya hidupnya mulai redup, ketika semangat duniawi mulai digantikan oleh ketenangan jiwa. Namun di sini tidak ada kesedihan, sebab surup bukanlah akhir. Setelah gelap, akan datang terang baru. Surup hanyalah peralihan dari satu bentuk cahaya ke bentuk cahaya lainnya; dari cahaya kasar menuju cahaya halus, dari kehidupan fisik menuju kehidupan spiritual. Dalam pemahaman ini, surup adalah simbol kesadaran rohani, pengingat bahwa kematian bukanlah penutupan, melainkan pintu menuju kehidupan yang lebih dalam.

Saat menatap surup, langit seperti melukis suasana melankolis yang lembut namun dalam. Tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada cahaya menyilaukan, hanya ada warna-warna lembut yang menenangkan rasa. Dalam keadaan itu, manusia bisa merasakan bahwa segala yang ada di dunia ini hanyalah singgah. Perasaan ini bukan untuk menimbulkan kesedihan, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa hidup harus dijalani dengan makna. Setiap terang akan berakhir, maka setiap masa terang harus dijalani dengan penuh arti. Surup tidak untuk ditakuti, tetapi untuk diterima sebagai pengingat bahwa tidak ada yang abadi, dan hanya kesadaran yang mampu menembus kegelapan.

Manusia yang telah melalui berbagai fase kehidupan akan lebih memahami makna surup. Saat muda, surup tampak seperti waktu yang biasa saja, hanya pertanda malam akan tiba. Namun ketika usia menua, surup menjadi simbol masa senja kehidupan, yaitu: saat seseorang lebih banyak mengingat daripada berharap. Di sini filsafat bertemu dengan rasa: kesadaran akan datangnya senja membuat manusia lebih lembut, lebih dalam, lebih dekat pada hakikat dirinya. Surup mengajarkan bahwa umur seperti perjalanan matahari; ada pagi, siang, dan senja. Tak ada yang lebih penting, sebab semuanya memiliki peran dalam kesempurnaan hidup.

Maka, waktu surup lebih dari sekadar perubahan warna langit. Ia adalah kitab filsafat yang ditulis oleh alam, yang dapat dibaca oleh siapa pun yang mau berhenti sejenak dan menatapnya dengan hati. Setiap sinar jingga yang menyatu dengan gelap memberi pelajaran bahwa hidup tidak harus selalu terang, tetapi harus jujur dalam menerima setiap perubahannya. Manusia yang memahami makna surup akan hidup lebih tenang, lebih sadar, dan lebih siap ketika masa surup-nya sendiri tiba.

Setiap waktu surup yang tampak di langit sejatinya adalah panggilan agar manusia mengingat kehidupan dirinya sendiri. Surup bukan hanya milik langit, tetapi juga ada di dalam hati setiap manusia. Setiap kali manusia mengalami kehilangan, perpisahan, atau kesedihan, ia sebenarnya sedang mengalami surup batinnya. Namun dari sana akan tumbuh cahaya baru yaitu, cahaya yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih sejati. Surup bukan akhir, melainkan awal dari kebijaksanaan yang abadi.  Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

“Nggampangke”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Komunitas tenaga pengajar di lantai lima tempat penulis berkantor saat tiba waktu sholat selalu mendirikan sholat berjamaah. Siang itu sebelum dhuhur ada diskusi kecil diantara jamaah yang menengarai saat ini munculnya sikap “nggampangke” di semua lapisan masyarakat, dari pejabat sampai rakyat; tidak terkecuali juga mahasiswa. Beliau yang berlatar belakang budaya Jawa sangat gamblang menjelaskan ini. Selesai sholat justru diksi itu mengganggu pikiran untuk ditelusuri makna hakikinya; sebab fenomena itu ternyata banyak terjadi di tengah masyarakat, tidak terkecuali para petinggi negeri ini.

Dalam bahasa Jawa, “nggampangke” berarti menganggap sesuatu mudah, atau memudahkan semua hal, seolah semua bisa diselesaikan tanpa usaha mendalam, tanpa refleksi, tanpa proses yang sungguh-sungguh. Sikap ini sekilas tampak positif, seolah-olah penuh rasa optimis, tidak mau ribet, dan selalu mencari jalan cepat. Namun di balik kesan ringan itu, tersembunyi krisis yang lebih dalam: hilangnya kesadaran terhadap nilai proses, tanggung jawab, dan makna mendalam dari tindakan manusia.

Fenomena “nggampangke” ini menjadi cerminan cara berpikir manusia kontemporer yang hidup di tengah budaya instan. Segala sesuatu dituntut serba cepat, efisien, dan praktis. Masyarakat tidak lagi menghargai waktu yang dibutuhkan untuk memahami, meneliti, atau merenungi sesuatu secara utuh. Ketika setiap hal bisa diakses hanya dengan sentuhan jari, manusia pun mulai kehilangan kesabaran terhadap proses yang memerlukan ketekunan. Sikap “nggampangke” menjadi kebiasaan yang membentuk cara pandang baru: bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan cepat, tanpa kedalaman. Inilah wajah baru dari krisis kesadaran manusia modern.

Pandangan filsafat kontemporer, sikap “nggampangke” dapat dipahami sebagai gejala kehilangan keterhubungan manusia dengan realitas yang sejati. Manusia kini lebih sibuk mengejar hasil dibanding memahami makna dari apa yang dikerjakan. Segalanya direduksi menjadi fungsi, efisiensi, dan manfaat jangka pendek. Akibatnya, tindakan manusia menjadi dangkal. Nilai pengetahuan direduksi menjadi informasi, nilai moral direduksi menjadi opini, dan nilai karya direduksi menjadi konten. Ketika manusia hanya melihat permukaan, ia berhenti berelasi dengan kedalaman hidup. Ia hidup di ruang datar yang penuh kesibukan, namun kosong dari refleksi.

Sikap “nggampangke” lahir dari rasa puas yang prematur. Ia menolak kompleksitas dan cenderung menghindari kesulitan. Dalam masyarakat yang dibanjiri kemudahan digital, manusia semakin terbiasa untuk mendapatkan segalanya secara instan. Belajar bisa dari potongan video singkat, bekerja cukup dengan aplikasi, bahkan berpikir pun sering digantikan oleh mesin pencarian. Semua tampak mudah, hingga akhirnya manusia tidak lagi terbiasa menghadapi tantangan yang memerlukan ketekunan. Ketika muncul masalah yang menuntut keseriusan, sikap yang lahir bukan semangat untuk memahami, melainkan keinginan untuk segera melepas atau menunda. Maka, “gampangke” menjadi jalan pintas menuju kemalasan intelektual dan emosional.

Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang harus terus berproses. Makna hidup tidak terletak pada hasil akhir, melainkan pada keterlibatan yang mendalam dalam setiap proses. Namun, budaya “nggampangke” justru mengikis kesadaran ini. Proses dianggap membuang waktu, refleksi dianggap tidak produktif, dan kesulitan dianggap hambatan yang harus dihindari. Padahal, tanpa melalui kesulitan, manusia tidak mungkin tumbuh secara autentik. Ketika semua dianggap mudah, manusia berhenti menjadi pembelajar. Ia hanya menjadi penikmat hasil, bukan pencipta makna.

Sikap “nggampangke” bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga gejala sosial. Ia menciptakan budaya kolektif yang rapuh. Dalam masyarakat yang terbiasa dengan kemudahan, daya tahan terhadap tekanan menjadi lemah. Ketika krisis datang, baik ekonomi, sosial, maupun spiritual; masyarakat semacam ini mudah panik dan kehilangan arah. Mereka tidak terbiasa berpikir mendalam, sehingga tidak mampu membangun solusi yang berkelanjutan. Semua hal diselesaikan dengan tambal sulam, tanpa akar yang kuat. Akibatnya, masalah yang sama terus berulang, hanya berganti bentuk.

Sikap “nggampangke” juga menunjukkan krisis makna kerja dan usaha. Dalam budaya tradisional Jawa, kerja memiliki dimensi spiritual dan moral: kerja adalah laku, bagian dari perjalanan batin menuju kesempurnaan hidup. Namun dalam budaya kontemporer yang serba cepat, kerja direduksi menjadi alat mencapai hasil instan. Ketika sesuatu tidak segera membuahkan hasil, ia ditinggalkan. Nilai kesabaran dan ketekunan pun luntur. Di sini, “nggampangke” tidak hanya menjadi sikap praktis, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap nilai luhur kerja sebagai jalan pembentukan diri.

Pada akhirnya, “nggampangke” bukan hanya kata, tetapi cermin dari cara berpikir. Ia menunjukkan bagaimana manusia modern memandang dirinya dan dunianya. Apabila kita terus memelihara sikap ini, kita berisiko menjadi generasi yang kehilangan kedalaman berpikir dan kepekaan moral. Sebaliknya, bila kita mampu mengubahnya menjadi kesadaran baru; kesadaran bahwa setiap hal bernilai karena prosesnya, maka kita sedang menata kembali relasi kita dengan kehidupan.

Di tengah dunia yang serba cepat, mungkin justru yang paling revolusioner adalah keberanian untuk berjalan secara perlahan. Untuk tidak tergoda menganggap segala hal mudah, untuk tidak menertawakan kesulitan, dan untuk tetap menghormati perjalanan panjang menuju pemahaman sejati. Dalam kesadaran itu, manusia kembali menjadi subjek yang utuh: yang berpikir, merasakan, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, melampaui “nggampangke” bukan hanya soal mengubah perilaku, tetapi juga soal memulihkan kemanusiaan kita di tengah dunia yang nyaris kehilangan jiwa. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Senja Yang Tak Pernah Selesai

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu pulang dari mengantarkan “Pulang” kerabat, keharibaan Illahi. Tiga mingu berturut-turut mendapatkan “kehormatan” untuk mengantar pulang dari kerabat. Dan, senja menjelang malam menjadikan diri untuk berkontemplasi, merenung dan mengevaluasi diri atas semua yang terjadi. Senja adalah momen ketika waktu menunjukkan wajahnya yang paling jujur: bukan janji tentang masa depan, melainkan kesadaran akan yang telah dan tak akan kembali. Di usia senja, tubuh masih ada, nafas masih berembus, detak jantung masih berlanjut, tetapi ada sesuatu yang mulai hening. Hening bukan karena ketiadaan suara, tetapi karena suara-suara itu tak lagi bermakna sebagaimana dulu.

Hari-hari menjadi ritus yang berulang: membuka mata bukan karena mimpi, tetapi karena rutinitas yang menolak berhenti. Segala yang dilakukan tak lagi bertujuan, melainkan hanya untuk menjaga agar tidak seluruhnya diam. Bukan karena malas bergerak, tetapi karena gerak kini tak membawa kemana-mana. Apa yang dulu disebut sebagai tujuan hidup perlahan kehilangan daya. Yang dahulu menjadi cita-cita, kini hanya menjadi bagian dari sejarah internal yang tak lagi relevan dengan realitas hari ini. Di situlah senja dimulai; bukan pada pukul lima sore, tapi pada saat kesadaran tentang keterbatasan hadir sepenuhnya.

Filsafat kontemporer tidak menawarkan utopia. Tetapi hanya mempersilakan manusia berdiri tegak di hadapan absurditas, lalu bertanya: “Apakah engkau masih bersedia hidup walau tahu semuanya akan berakhir, dan bahkan mungkin tanpa alasan yang bisa kamu terima?” Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, namun ia mengguncang dasar dari apa yang selama ini dijadikan sandaran. Ketika dunia tidak lagi memberi validasi, dan hidup tak lagi menawarkan kemajuan, maka satu-satunya yang tersisa adalah kesadaran vulgar: “aku masih hidup, dan itu saja”.

Ada kehormatan dalam menerima kekosongan tanpa lari dari kenyataan. Tidak mencari pelarian ke masa lalu, tidak memaksa diri untuk membuat makna baru yang artifisial, tidak mencoba menyembuhkan luka dengan harapan palsu. Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa yang absurd bukan untuk ditolak, tapi untuk dihidupi, bahkan dinikmati. Hidup bukan tentang mengisi kekosongan, tetapi merengkuhnya, memeluknya seperti udara: tak terlihat, namun menyusun setiap tarikan nafas. Maka kesendirian bukan kelemahan, tetapi cara keberadaan berelasi dengan dirinya sendiri secara paling murni.

Di senja yang tak pernah selesai, waktu menjadi cair. Masa lalu dan masa kini bercampur dalam ruang kesadaran yang tidak lagi peduli pada kronologi. Suatu aroma, bayangan cahaya, atau bahkan diam bisa membangkitkan sesuatu yang sudah puluhan tahun terpendam. Namun semua itu tidak lagi membawa rasa manis; yang tersisa hanyalah kepahitan nostalgia yang tak bisa diulang. Saat itulah muncul satu pemahaman penting: bahwa segala sesuatu yang indah tak ditakdirkan untuk dimiliki selamanya. Sama halnya sesuatu yang pahit juga ditakdirkan untuk tidak dinikmati sepanjang masa.

Filsafat kontemporer menolak gagasan tentang kebahagiaan sebagai tujuan akhir. Ia lebih condong pada kesadaran akan keberadaan sebagai proses terbuka, tanpa jaminan akhir yang menggembirakan. Dalam kerangka ini, usia senja adalah laboratorium paling jujur bagi kehidupan manusia. Di dalamnya, tidak ada lagi ruang untuk ilusi. Yang ada hanyalah tubuh yang menua, pikiran yang semakin selektif, dan dunia yang terus berubah tanpa menunggu siapa pun. Maka pertanyaannya bukan lagi “apa yang akan kudapatkan?”, melainkan “bekal apa yang aku persiapkan untuk pulang ?”

Menghadapi senja yang tak pernah selesai berarti menghadapi hari-hari yang terasa serupa tetapi tidak sama. Tidak ada perayaan, tidak ada gebrakan. Yang ada hanyalah keheningan. Tapi justru dalam keheningan itu, ada ruang untuk mendengar suara-suara terdalam. Suara yang selama ini tenggelam oleh hiruk pikuk dunia: suara keraguan, suara penyesalan, suara penerimaan. Semua itu muncul seperti kabut: samar, namun tak bisa diabaikan. Di sanalah proses pembersihan batin berlangsung. Bukan pembersihan moralistik, melainkan pembersihan dari segala lapisan yang tidak perlu, hingga hanya tersisa inti: keberadaan itu sendiri.

Senja adalah masa di mana manusia tak lagi menjadi pusat. Manusia belajar menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: waktu, alam, semesta. Manusia tidak lagi mencoba mengendalikan, hanya berusaha memahami. Dan dalam pemahaman itu, ada kebebasan. Kebebasan yang tidak datang dari pilihan, tetapi dari penerimaan total. Bukan pasrah, melainkan sadar. Bahwa yang terjadi memang harus terjadi, dan yang hilang memang tak bisa lagi kembali. Maka, keterbukaan terhadap kenyataan menjadi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.

Tidak ada romantisme dalam kesendirian senja, tetapi di sana ada kejujuran. Kejujuran bahwa hidup tidak selalu tentang meraih, kadang hanya tentang bertahan. Tidak untuk tujuan besar, tetapi karena ada kesadaran kecil bahwa keberadaan itu sendiri cukup. Bahwa menjadi ada, meski dalam keheningan, dalam keriput, dalam lambatnya langkah; adalah bentuk kemenangan atas kehampaan mutlak. Dan kemenangan itu tidak perlu sorak-sorai, cukup dengan satu tarikan napas yang disyukuri.

Dan jika suatu hari, tubuh tak lagi kuat berjalan, jika suara tak lagi sanggup diperdengarkan, jika dunia akhirnya melupakan: tidak apa-apa. Karena keberadaan telah dituliskan, bukan di lembar sejarah atau batu nisan, tapi di ruang paling sunyi dalam kesadaran: ruang yang pernah memilih untuk hidup, sekalipun dalam sepi. Kontemplasi ini akan terus berjalan dan berulang “senja demi senja” sampai Tuhan memanggil pulang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Identitas Membedakan Entitas

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari ini dunia maya dihebohkan dengan polemik menghormati seseorang, apa pun jabatan dan statusnya, dengan cara tertentu, dianggap berlebihan. Dengan salah satu alasannya adalah “sama-sama manusia”. Bahkan ada yang menganggap itu bentuk eksploitasi. Di sisi lain mereka yang melakukan penghormatan dengan cara itu dianggap biasa-biasa saja, dan wajar, karena dengan parameter tertentu yang diyakini. Bahkan ada seorang tokoh agama yang mengatakan: berlian, veros, bacan, dan kerikil sama-sama batu. Meskipun sama-sama batu, masing-masing perbedaannya sangat mencolok. Jika ada yang ingin menyamakan, maka yang bersangkutan patut diduga untuk diperiksa kesehatan jiwanya.

Tulisan ini tidak ingin memperkeruh semua itu, namun mencoba melihat dari perspektif lain; sehingga diharapkan menjadi bahan renungan.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hidup berdampingan dengan ribuan bentuk entitas yang secara kasat mata tampak mirip, bahkan kerap disebut sama. Namun, kesamaan pada tataran istilah tidak serta-merta menghadirkan kesamaan dalam makna, nilai, atau fungsi. Kalimat yang menyebutkan bahwa berlian, veros, bacan, dan kerikil sama-sama batu ampaknya hanya menyatakan fakta sederhana tentang kategori material, yakni bahwa keempatnya tergolong batuan. Namun ketika pernyataan itu ditutup dengan, “jika ada yang mengatakan sama, maka orang itu perlu masuk rumah sakit jiwa,” kita diarahkan untuk berpikir ulang: apakah benar semua yang disebut “batu” itu memang sama? Atau justru di sinilah letak kekeliruan berpikir yang menggiring pada penyamaan identitas secara serampangan?

Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang melekat hanya pada bentuk fisik atau komposisi material, melainkan pada posisi, relasi, nilai, dan makna yang muncul dari bagaimana entitas tersebut hadir dalam konteks tertentu. Berlian, bacan, veros, dan kerikil memang semuanya batu, tetapi tidak satu pun dari mereka memiliki identitas yang identik satu sama lain. Menyamakan keempatnya hanya karena kategori “batu” adalah bentuk reduksionisme konseptual yang mengabaikan dimensi nilai, sejarah, simbolisme, serta peran sosial yang melekat pada masing-masing.

Dalam pendekatan filsafat kontemporer, entitas tidak dipahami secara esensialis, melainkan melalui konstruksi sosial, linguistik, historis, dan relasional. Artinya, suatu benda atau konsep tidak memiliki makna tetap, tetapi memperoleh identitasnya dalam interaksinya dengan subjek, ruang, dan waktu. Maka dari itu, istilah “batu” tidak cukup menjelaskan apapun kecuali bahwa benda itu berasal dari mineral dan bersifat keras. Namun begitu ia dinamai “berlian” atau “kerikil”, ia masuk ke dalam jejaring makna yang sama sekali berbeda, bahkan bertolak belakang. Inilah mengapa identitas adalah mekanisme yang membedakan entitas, karena ia lahir dari konteks, bukan hanya dari zat.

Dalam konteks aksiologi, menyamakan semua batu justru berarti menghapus perbedaan nilai yang melekat pada masing-masing. Ini sama saja dengan menyamakan harga berlian dan kerikil hanya karena mereka berasal dari golongan benda yang sama. Padahal, dalam sistem kehidupan manusia, ekonomi, budaya, bahkan emosional; nilai tidak ditentukan oleh kategori fisik, melainkan oleh pemaknaan sosial dan historis. Berlian bisa menjadi pusaka keluarga, lambang cinta dalam pernikahan, atau aset bernilai tinggi. Kerikil, meski bisa menyusun jalan setapak, tidak akan pernah menempati posisi simbolik seperti itu. Ketika perbedaan nilai diabaikan, manusia kehilangan sensitivitas terhadap kompleksitas realitas.

Filsafat kontemporer juga mengingatkan bahwa keseragaman atau penyamaan makna yang terburu-buru bisa menjadi bentuk kekuasaan atau pengabaian terhadap keberagaman. Bahasa dan konsep bisa digunakan untuk menindas, untuk menyamakan demi efisiensi, atau untuk menyingkirkan hal-hal yang tak sesuai dengan arus dominan. Maka ketika seseorang berkata “semua batu itu sama,” kita tidak hanya sedang melihat kesalahan kategori, tetapi potensi bahaya dari generalisasi yang mematikan keunikan. Dunia tidak dibangun dari kesamaan, melainkan dari perbedaan yang dikenali dan dihargai.

Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa orang yang menyamakan semuanya “perlu masuk rumah sakit jiwa”? Secara literal, tentu ini hiperbola. Namun secara filosofis, pernyataan itu bisa dibaca sebagai kritik terhadap cara berpikir simplistik yang gagal menangkap perbedaan makna. Dalam dunia yang serba kompleks, kemampuan membedakan dan mengapresiasi perbedaan adalah bentuk kewarasan kognitif. Sebaliknya, penyamaan secara serampangan bisa menunjukkan ketumpulannya daya pikir, bahkan nihilisme makna. Maka “gila” di sini bukan berarti gangguan jiwa secara medis, melainkan ketidakwarasan berpikir yang menolak kompleksitas dan memperlakukan dunia secara datar.

Dengan demikian, penyamaan semua batu bukan hanya kekeliruan semantik, tetapi pengkhianatan terhadap keragaman makna. Dunia bukan hanya terdiri dari benda-benda, tetapi juga dari cerita, simbol, sejarah, dan relasi kuasa yang melekat pada setiap benda itu. Berlian tidak bisa dimaknai sama dengan veros, karena mereka hidup dalam semesta makna yang berlainan. Identitas membedakan entitas justru karena entitas hanya menjadi berarti ketika identitasnya dikenali dan dihargai.

Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu bisa dikategorikan dan dikelompokkan dengan cepat, dari data hingga manusia. Namun di balik kemudahan itu tersembunyi risiko besar: kehilangan makna dalam penyederhanaan. Maka, mempertahankan pandangan bahwa identitas itu penting, dan bahwa entitas berbeda satu sama lain, bukan sekadar pilihan akademik; melainkan sikap eksistensial terhadap kehidupan itu sendiri. Kita tidak bisa memahami dunia jika kita enggan membedakan.

Pada akhirnya, pernyataan bahwa semua batu itu sama hanyalah kebenaran permukaan yang tidak mampu menembus kedalaman realitas. Ia mengabaikan sejarah, konteks, nilai, dan simbol yang membentuk identitas masing-masing entitas. Dalam terang filsafat kontemporer, tugas berpikir bukan untuk menyamaratakan segalanya, tetapi untuk mengakui dan memahami keragaman yang tersembunyi di balik kesamaan yang tampak. Sebab identitas bukan sekadar nama, tetapi cara suatu entitas hadir dan dimaknai di dalam dunia. Dan karena itu, identitaslah yang membedakan entitas; bukan zatnya, bukan bentuknya, tetapi kisah, relasi, dan nilai yang menghidupinya.

Oleh karena itu, kita tidak bisa menyamakan persepsi sepenuhnya atas dasar dugaan kita; sebab di sana masih ada sudut pandang, dan cara pandang yang berbeda. Secara bijak kita harus menghormati perbedaan itu, dengan tidak memaksakan pandangan kita kepada pandangan yang berbeda. Apalagi sampai menghakimi berdasarkan kebenaran kita. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ular Serasa Belut

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Salah seorang petinggi di kabinet ini memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengoperasionalkan “mesin” kekuasaannya. Selama ini pejabat tinggi sering menampilkan jaga image, sedikit wibawa, muka ditarik jika harus rapat dengan siapapun. Tokoh satu ini, yang pekerjaannya memegang kas negara; tampilannya ceplas-ceplos tanpa beban. Bahkan tidak jarang harus menentang arus, dan tidak betah ada di zona nyaman. Akibatnya, tentu saja banyak para petinggi yang merasa “kebakaran tikar”. Sampai-sampai berkeluh kesah dengan lembaga legeslatif, seolah minta dukungan atau pertolongan. Mereka lupa bahwa petinggi yang satu ini tidak berpartai, bukan juga simpatisan. Kepercayaannya hanya tegak lurus kepada presiden. Alhasil semua kelakuan lama yang sebenarnya ular, tampaknya belut; menjadi sangat terbuka, bahkan telanjang.

Selama ini rakyatnya sering disuguhi pertunjukan akrobatik yang luar biasa dari para pemimpinnya. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan tampaknya telah lama memahami satu hal: bahwa narasi bisa lebih penting daripada kenyataan. Di atas panggung pidato, dalam suara yang dilatih agar terdengar tegas dan penuh harapan, mereka bisa mengubah apa pun. Bahkan kegagalan pun bisa disulap menjadi keberhasilan. Inilah seni menjual fatamorgana; seni yang hanya dimiliki oleh para pemimpin yang pandai membungkus ular agar tampak seperti belut. Licin, mengkilap, menggeliat, tapi mematuk dalam diam. Begitu berhadapan dengan “Sang Coy Boy” yang begitu refelksnya mencabut pistol untuk menembak; maka, banyak para ular tadi harus mengakui kekalahannya.

Setiap proyek gagal bisa dicat ulang menjadi keberhasilan lewat angka-angka yang dibengkokkan, grafik yang disunat, atau testimoni yang disusun rapi oleh tim komunikasi. Kegagalan distribusi pangan diubah menjadi keberhasilan stabilitas harga dengan membandingkan angka pada bulan berbeda. Gagalnya pembangunan infrastruktur vital dipoles menjadi simbol kebangkitan nasional, dengan mengabaikan fakta bahwa jembatan yang dibangun ambruk sebelum sempat digunakan. Keterlambatan proyek dianggap bagian dari strategi adaptif. Pembengkakan anggaran bukanlah bentuk pemborosan, tetapi “fleksibilitas fiskal”. Semua istilah disulap demi menjaga wajah pemimpin tetap bersinar, seolah ia adalah nahkoda yang membawa kapal menuju pelabuhan kejayaan, padahal kapal sudah bocor dari lambung dan perlahan tenggelam. Dan. Itu semua sekarang perlahan tapi pasti, semua terkuak kepermukaan karena ulah sang pemimpin coy boy.

Ironisnya, banyak orang akhirnya terbiasa. Ketika kebohongan diulang terus-menerus, ia mulai terdengar seperti kebenaran. Rakyat mulai menerima bahwa pemimpin yang baik bukanlah yang membuat hidup mereka lebih baik, tapi yang paling pandai menjelaskan kenapa hidup mereka tetap susah. Mereka terbuai dengan bahasa-bahasa motivasi yang dikutip dari tokoh luar negeri, diselipkan dalam pidato yang ditulis oleh tim kreatif, dibacakan dengan penuh emosi seolah berasal dari hati, padahal sekadar naskah latihan. Ini bukan lagi soal kejujuran atau integritas, melainkan soal penampilan. Semua ini sekarang terbongkar, membuat para ular yang menjelma menjadi belut kepanasan.

Pemimpin yang baik semestinya bukan yang paling banyak, bahkan lihay berbicara; tetapi mereka yang paling berani bertanggung jawab. Bukan yang menyalahkan masa lalu, tapi yang mampu memperbaiki masa kini. Bukan yang membungkus kegagalan, tapi yang jujur mengakuinya dan belajar darinya. Tapi di negeri ini, yang sering naik ke panggung adalah mereka yang bisa menjilat langit dengan kata-kata manis, sambil menutupi luka rakyat yang belum sempat diobati. Mereka yang membuat kemiskinan tampak seperti pilihan hidup. Mereka yang menyulap harga kebutuhan pokok yang melambung sebagai bukti pertumbuhan konsumsi. Mereka yang menjual mimpi tentang kemajuan sambil mengabaikan realitas keterpurukan. Begitu datang “elang” yang garang; mereka kepanasan, bahkan saat rapat kabinet-pun mereka menghindar untuk berbicara dengan sang elang.

Di tengah situasi seperti ini, harapan seolah menjadi barang mewah. Tapi harapan tidak boleh hilang. Karena suatu saat, masyarakat akan jenuh dengan sandiwara. Mereka akan bangkit dari hipnotis narasi dan mulai melihat bahwa selama ini mereka hanya disuguhi ilusi. Saat itulah, semua kepura-puraan akan runtuh. Pemimpin yang hanya bisa mengarang keberhasilan akan dihadapkan pada fakta bahwa ia tidak pernah benar-benar memimpin, hanya bercerita. Dan rakyat, yang selama ini dibohongi, akan menuntut jawaban yang tidak bisa lagi dijawab dengan pidato indah atau grafik manipulatif. Dan, saatnya sekarang tiba; seorang pemimpin bertipe elang, yang siap melayang memangsa mereka-mereka yang tidak mampu memimpin negeri ini. Walaupun harus berputar di awan yang penuh ranjau, namun pemimpin model ini sudah siap akan resiko jabatan apapun bentuknya. Selamat berjuang orang baik, untuk negeri yang sedang tidak baik-baik. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Menolak, Tetapi Mengikuti

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang mahasiswa pascasarjana pagi itu menghadap untuk berkonsultasi tugas akhir; disela-sela pembicaraan; yang bersangkutan mendeskripsikan karakter salah seorang respondennya yang kebetulan pejabat tinggi di daerah penelitiannya. Mahasiwa tadi mengungkapkan bahwa responden ini memiliki ciri khas; siapapun pimpinan daerahnya selalu terpakai, dalam arti tetap memiliki jabatan; walaupun sejatinya yang bersangkutan tidak satu prinsip dengan kepala daerah, jika diskusi dilakukan secara informal.

Penulis mengatakan bahwa responden itu selalu bermain aman dengan prinsip “menolak, tetapi mengikuti”. Menolak jika diajak untuk melakukan pelanggaran etika kepemerintahan, namun mengikuti aturan jika menjalan kebijakkan. Akhirnya diskusi lanjut tentang diksi ini berkepanjangan. Dan, jika diringkas diskusi tadi sebagai berikut:

Dalam lanskap kehidupan kontemporer yang serba kompleks, tidak ada lagi garis pemisah yang tegas antara yang melawan dan yang patuh. Dunia tak lagi bisa dibaca melalui narasi oposisi biner: antara hitam dan putih, antara pelaku dan korban, antara penolak dan pengikut. Justru di antara ambiguitas dan ketegangan itulah muncul satu bentuk posisi eksistensial yang semakin relevan: menolak tetapi mengikuti. Ini adalah posisi yang tampaknya paradoksal, namun justru menjadi cermin dari realitas manusia kontemporer yang hidup di bawah tekanan sistem yang kuat namun tak terhindarkan. Menolak tetapi mengikuti adalah sikap yang tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk kemunafikan, melainkan sebagai strategi bertahan, ekspresi kesadaran, dan bahkan bentuk perlawanan dalam logika dunia yang telah sedemikian terjebak dalam reproduksi kekuasaan.

Menolak biasanya dipahami sebagai tindakan aktif memutus hubungan dengan suatu sistem atau struktur. Sementara mengikuti berarti menerima, tunduk, atau berjalan sesuai alur sistem tersebut. Maka ketika seseorang memilih untuk menolak tetapi tetap mengikuti, ia seolah sedang berdiri dalam kontradiksi. Namun, jika ditelisik lebih dalam, justru dalam kontradiksi itu ada kejujuran yang lebih tinggi: bahwa tidak semua bentuk penolakan bisa diwujudkan dalam aksi yang terlepas dari sistem; dan bahwa mengikuti tidak selalu berarti menyetujui secara utuh. Dalam hal ini, penolakan tidak dilakukan dengan cara konfrontatif, melainkan lewat kesadaran kritis yang tetap memilih untuk berjalan dalam sistem yang sedang ditolak, bukan karena tunduk, tetapi karena menyadari keterbatasan ruang gerak dalam realitas yang tersedia.

Harus diakui bahwa kita hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh sistem-sistem besar: ekonomi global, negara-bangsa, media sosial, algoritma, budaya konsumsi, birokrasi pendidikan, dan norma-norma sosial yang tertanam dalam institusi dan bahasa. Menolak total terhadap semua itu bukan hanya sulit, tapi hampir mustahil tanpa menarik diri secara ekstrem dari kehidupan sosial. Maka, banyak orang justru memilih untuk tetap berada dalam sistem; ikut bekerja, ikut belajar, ikut bersosialisasi, ikut berkomunikasi dengan cara-cara yang telah ditentukan, tetapi dengan membawa penolakan di dalam diri mereka. Penolakan itu mungkin tidak tampak secara kasat mata, tidak diumumkan secara lantang, tetapi ia hadir dalam bentuk sikap batin, dalam pilihan-pilihan kecil, dalam ironi, dalam jeda, dalam modifikasi yang halus terhadap aturan.

Sikap ini sepintas kilas bisa dimaknai sebagai bentuk kekalahan, tapi justru sebaliknya. Ia adalah kemenangan kecil yang terus diperjuangkan setiap hari: kemenangan dalam menjaga kesadaran, dalam menolak tunduk secara total, dalam mempertahankan ruang otonomi batin di tengah tekanan homogenisasi. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang yang menolak tetapi mengikuti bisa saja tampak biasa-biasa saja. Mereka tidak memimpin demonstrasi, tidak menulis manifesto, tidak tampil sebagai simbol perlawanan. Tapi mereka menyimpan kritik, menyuarakan ketidakterimaan dalam forum-forum kecil, menulis dengan gaya yang menyimpang, berbicara dengan sindiran, atau sekadar menolak menjadi antusias ketika diminta ikut menyanyikan lagu pujian terhadap sistem.

Pada titik ini, menolak tetapi mengikuti bukanlah bentuk kompromi, melainkan bentuk kesadaran akan medan perjuangan yang tidak ideal. Ini adalah cara untuk tetap hidup, tetap bertahan, sambil tetap mengatakan “tidak”; meskipun tidak dengan suara keras, melainkan dengan cara berjalan yang miring, dengan langkah yang tidak seirama, dengan tindakan-tindakan kecil yang disengaja untuk menggoyang rutinitas. Menolak tetapi mengikuti menjadi bentuk etika yang tidak memaksakan kepahlawanan, tetapi menempatkan tanggung jawab pada level paling konkret dari kehidupan: bagaimana seseorang bekerja, berpikir, berinteraksi, dan mengelola posisinya dalam struktur sosial yang besar.

Sikap ini juga membuka jalan bagi pemahaman baru tentang makna keberanian. Keberanian tidak lagi hanya diukur dari kemampuan untuk melawan secara terbuka, tetapi juga dari kemampuan untuk menahan diri, tetap bertahan, dan tetap menyimpan penolakan dalam dunia yang menuntut persetujuan terus-menerus. Menolak tetapi mengikuti membutuhkan keberanian untuk tetap waras dalam sistem yang gila, untuk tetap jujur dalam struktur yang penuh kepalsuan, dan untuk tetap sadar dalam dunia yang dibanjiri distraksi. Ini adalah keberanian yang tidak mencari sorotan, tapi justru menemukan kekuatannya dalam ketenangan, dalam pengamatan, dalam konsistensi sikap yang diam-diam tapi tegas.

Dan, mungkin di sanalah letak kekuatan sebenarnya: bukan dalam penolakan yang lantang, tetapi dalam kemampuan untuk tetap menyimpan “tidak” dalam diam, untuk tetap bertahan tanpa kehilangan integritas, untuk tetap mengikuti tanpa menjadi alat. Di tengah dunia yang memaksa kita memilih antara dua kutub yang ekstrem, sikap ini menawarkan jalan ketiga, yaitu jalan yang tidak nyaman, tidak populer, tapi justru penuh potensi untuk mengubah dari dalam. Sebuah jalan di mana kita bisa menolak, bahkan ketika sedang mengikuti. Dan mungkin, justru di sanalah perubahan perlahan bisa dimulai. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman