Pendukuhan Klampesireng

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sore menjelang senja, Semar duduk diberanda depan rumah bersama istri tercinta Dewi Loro Ireng sambil menikmati kopi panas ditemani pisang goreng kesukaannya yang semua itu dibuat sendiri oleh istrinya. Mereka berdua sedang “ngudoroso” mengenai masa depan dari Pedukuhan Klampesireng tempat mereka tinggal dari zaman Koloyogo sampai Kaliyugo sekarang ini.

Pedukuhan ini sudah sangat berkembang luas dan berpenduduknya sangat banyak, bahkan sudah terkategori padat; kalau ada kenaikan status daerah maka wilayah ini sudah selayaknya naik status menjadi Kadipaten. Namun dasar Semar memang tidak mau neko-neko, beliau cukup dengan apa yang ada saja.
Pembicaraan “jagongan” sore itu berkisar seiring perjalanan waktu Semar berkeinginan memberikan tinggalan kepada anak-anaknya berupa perdikan, dengan cara membagi Pedukuhan ini menjadi empat; seperti dituturkan oleh Semar kepada istrinya “Adinda Loro Ireng berhubung kita sudah sangat tua, maka saya berkeinginan memberikan tetenger atau penanda kepada anak-anak kita Gareng, Petruk, Bagong berupa perdikan, dengan cara membagi pedukuhan ini menjadi empat. Pertama, untuk kita berdua, kemudian mereka mendapat masing-masing seperempatnya, bagaimana menurut pendapatmu”.

Dewi Loro Ireng tidak langsung menjawab, beliau berfikir keras ada apa sebenarnya dibenak Ki Lurah Semar suaminya ini, sampai ingin membagi harta satu-satunya yang mereka miliki, akhirnya beliau berkata dengan takzim “Mohon maaf beribu maaf Ki Lurah sesembahanku setelah Tuhanku, sebelum menjawab izinkan saya bertanya, ada pemikiran apa gerangan Ki Lurah kok berkeinginan membagi waris yang hanya satu-satunya ini, sementara kita berdua masih hidup segar bugar walaupun sudah tidak muda lagi. Lagipula ketiga anak-anak itu sebenarnya yang asli anak kita ya Bagong karena dia tercipta dari bayang-bayangmu, sementara Gareng dan Petruk adalah anak angkat walaupun sudah melebihi anak kandung kita. Selain itu mereka sudah berkeluarga semua bahkan sudah punya cucu, punya penghasilan cukup, apa justru nanti tidak akan memberatkan mereka”.

Semar menghela nafas panjang sambil menarik kursinya lebih dekat kepada istri yang sangat dicintainya itu, dan beliau berkata dengan lembut; “Istriku, ketahuilah bahwa zaman ini semakin tua, dan pikiran manusia semakin gila; saya tidak ingin meninggalkan perkara kepada keturunanku hanya karena harta, sementara harta itu titipan, yang nanti akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Sang Maha Tunggal, dari cara memperoleh, mengelola dan kepada siapa harta itu kita tautkan. Harta itu ibarat pakaian yang dipinjamkan kepada kita; ada yang satu jam sudah diminta kembali oleh yang punya, ada yang satu tahun, seratus tahun, bahkan ada yang seribu tahun. Namun, manakala tiba waktunya yang punya memintanya untuk kembali; tidak ada satupun yang mampu menghalangi. Pada waktu diminta kembali itulah kita harus mempertanggung jawabkan selama ada pada kita, berarti makin lama kita dipinjamkan, peluangnya makin banyak diminta pertangungjawabannya.
Oleh sebab itu manakala nanti pada zamannya ada anak lupa orang tuanya , orang tua lupa akan anaknya hanya karena masalah harta. Ya untuk generasi Gareng, Petruk, Bagong tidak ada persoalan, tetapi nanti cucu-cucu mereka atau buyut, canggah, udeg-udeg kita; saya membaca ada tanda-tanda tidak baik itu. Oleh karena itulah Istriku aku ingin kita bersama saat pulang ke alam keabadian nanti berdua, dapat bergandeng tangan menuju surga tanpa harus diribeti atau dibebani oleh masalah dunia dan isinya”.

Mendengar itu Loro Ireng yang sejatinya Dewi dari Kayangan itu, diam-diam bangga akan ketulusan dan kebersihan hati suaminya yang memang sejatinya sebagai Dewa Ismaya ngejawantah. Namun kalau tidak rewel bukan wanita namanya. Oleh karena itu, sambil ngelendot ke pundak suaminya beliau berkata “Bagaimana Kakang kalau bagian kita agak lebih besar dan ambil paling depan tepi jalan raya supaya kita tidak repot kalau pesan grab atau pesan mie rebus kesukaanmu”.

Semar tanggap sasmita akan kemanjaan Istrinya yang sudah bersamanya puluhan tahun itu dalam susah dan senang, beliau menjawab “Nanti dulu istriku, apa sudah kau pikirkan masak-masak permintaanmu itu? Sebab, jika halaman rumah terlalu luas, lalu siapa yang akan menyapu setiap hari, membersihkan rumputnya setiap bulan, menyiram tanaman saat kemarau. Dan, jika rumah letaknya di tepi jalan raya, suara bising kendaraan, polusi debu, keamanan lalu lintas, semua itu menjadi pertimbanganku mengapa aku mengambil paling belakang. Sebab kita hanya memerlukan kamar satu untuk berdua supaya kau tetap dimataku, dan kita hanya perlu satu ruang tamu untuk menyambut cucu dan canggah. Terakhir kita hanya perlu dapur kering untuk sekedar aku memasakkan makanan untukmu agar kita tetap bisa bersama sepanjang masa. Toh, nanti kita berdua hanya memerlukan lubang galian tanah panjang tiga meter lebar dua meter dan dalam dua setengah meter. Itupun apakah yang akan menguburkan kita mau memasukkan jenazah kita berdua dalam satu lubang. Semua sudah kupikir masak-masak istriku demi keberlangsungan dan kenyamanan kita berdua”.

Kalau tidak ngeyel bukan wanita, istrinya berkata lagi “Bagaimana kalau di tengah saja Kiyai, agar para keturunan kita selalu ada di mata kita, lagi pula di belakang itu sepi, saya takut”.

Semar tersenyum mendengar ucapan istrinya sambil mencium pipi istrinya, beliau menjawab dengan suara agak dinaikkan volumenya “Istriku, kamu nanti gak betah melihat kelakuan Bagong yang selalu membuat masalah dengan keluarga saudara-saudaranya. Apa kamu tidak ingat Petruk pernah kehilangan telur ayam satu petarangan, ternyata yang mengambil Bagong. Akhirnya yang memberi uang ganti rugi dirimu, lagi-lagi uang makan kita jadi berkurang, ujungnya malah kita berdua yang harus puasa”.

Diam-diam istrinya tersenyum ingat akan kelakuan anak-anaknya. Dia ingat bagaimana Bagong mengambil secara diam-diam akte tanah mereka yang diagunkan ke bank untuk meminjam uang. Begitu tidak mampu mencicil, Bagong sembunyi di kolong tempat tidur mereka sambil menangis minta tolong pada mereka berdua. Ya itulah anak-anak, sekalipun sudah punya anak tetap saja anak-anak dimata orang tua. Dari zaman Ramayana sampai Pendawa, anak-anaknya itu tidak berubah ya seperti itu; namun bektinya kepada orang tua anak-anak itu luar biasa.

Lamunan Loro Ireng buyar saat Semar memegang pundaknya sambil berkata “Sudahlah Nyai, jangan melamun, serahkan semua pada Yang Maha Kuasa, kita hanya sekedar titah yang melakoni kodrat yang telah ditulis, yang penting ikhlas dan sabar, tidak usah neko-neko dihari senja kita. Mari kita masuk karena sebentar lagi panggilan Yang Maha Tunggal untuk menghadap beliau akan berkumandang. Heningkan pikiranmu dan kita berdoa supaya diberi waktu untuk melihat matahari esok dalam keadaan sehat dan iman kepadaNya.” Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman