Menangkap Makna

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati

 

Bandar Lampung : Sore itu jam dinding menunjukkan waktu pukul lima belas empat puluh saat masuk ke rumah pulang dari mushala. Entah mengapa tergerak hati untuk mencermati alat perlengkapan yang masih ada di dalam peti, hasil dari pembersihan ruang kantor yang telah cukup lama ditempati. Ada benda yang agak unik terlihat dan selama ini terlepas dari perhatian, yaitu himpunan guntingan koran atau kliping dari berbagai media, yang selama ini menerbitkan tulisan-tulisan. Salah satu tulisan itu berjudul “Rumah Tempat Kembali” karya redaktur harian yang kita baca ini; dengan setting latar rumah kediaman pada masa itu, berbentuk setengah joglo model rumah jawa.

Berkelebat bayangan anggota keluarga yang ramai, tidak kurang dari delapan orang dalam kondisi keseharian berteduh di bawah atap rumah tembok berornamen jawa. Maksud dan tujuan dibangun rumah besar itu karena memiliki anggota keluarga cukup besar, maka harus disiapkan yang besar, luas dan menyenangkan. Itu tangkapan makna dibangunnya rumah berukuran seribu meter dan berhalaman luas, bertanaman hijau, ada rambutan, duku, kelapa gading, alpokat, durian dan kurma. Karena sebelumnya tidak kurang selama sembilan belas tahun hidup di rumah baris bagai barak PLO yang cukup sumpek untuk ukuran waktu itu.

Beberapa puluh tahun kemudian, ternyata rumah besar itu ditinggalkan satu persatu penghuninya dengan berbagai alasan. Ada yang ikut suami karena telah menikah, ada yang harus mengurus rumah istri karena terbengkalai; dan yang paling menyedihkan adalah ditinggal pulang oleh tiang penyanggah rumah itu ke alam kelanggengan. Semua tampak suram kehilangan cahaya, seiring dengan meredubnya sinar kehidupan secara perlahan tapi pasti; ternyata tangkapan makna yang dulu itu menuai salah di ujungnya. Kini harus meninggalkan itu semua kemudian menepi di pinggir kota untuk berkontemplasi agar saat menyusul tiang penyangga nanti, diri ini sudah lebih bersih lagi.

Pada peristiwa lain yang merupakan bagian dari seting kehidupan di dalam rumah besar tadi; saat muda berkarya ingin membangun negeri, bila perlu bergerak sendiri. Gagah berani untuk menegakkan panji-panji agar lembaga disegani. Tikus-tikus gudang ditendang, meja dibentang, proposal dilayangkan untuk mewujudkan impian menjadi lembaga berkelas di negeri ini.
Riak gelombang diikuti, perbedaan dihadang bila perlu ditantang, hanya satu yang ada di benak bagaimana marwah negeri tetap terpateri. Penjara Polisi hampir dihampiri karena fitnahan keji dari teman yang tidak pemberani ditambah lagi busuk hati. Halang rintang tidak terbilang, tetapi semangat juang tak pernah padam. Cita-cita mengisi negeri agar lebih baik lagi.

Lembaga menjadi berjaya di kelas negeri, menghimpun kaum yang sejalan, membentuk ikatan kokoh guna berjuang bersama menyuarakan kehendak bersama anak negeri, tanpa harus saling menyakiti apalagi melukai. Membimbing yang muda, menggandeng yang sebaya, mendahulukan yang tua; adalah prinsip kebersamaan untuk meniti karpet merah menuju masa depan yang lebih baik. “malang tak dapat di tolak, untung tak dapat diraih” pesan orang bijak pada yang paham akan akhlak. Sang waktu adalah pedang yang siap memenggal apapun yang menghalang, demikian juga dengan usia, generasi harus berganti, agar posisi harus terisi; setiap waktu ada orangnya, setiap orang ada waktunya.

Namun sayang, tidaklah semua telur akan menetas, bahkan ada yang membusuk bagai bangkai menyengat, dan itu adalah kodrat. Generasi penerus ternyata tidak semuanya tulus, bahkan tidak juga semua ikhlas untuk berbagi nikmat. Tidak sedikit yang jadi bulus, dan ada yang zalim kepada negeri, tidak tanggung juga kepada para pendiri.

Diberi petunjuk seolah tuli, diberi nasehat seolah hebat, diberi pendapat diajak debat; akhirnya pendiri harus menepi mencari posisi untuk duduk menikmati sisa usia yang tak lama lagi. Hanya doa yang dapat dipanjatkan semoga negeri tidak kena tsunami, karena itu menyakitkan hati bagi mereka yang masih punya hati nurani.

Selamat berpisah teman-teman sekalian, kita ada pada jalan yang berbeda; kalaulah ada hati yang luka mohon disiram dengan maaf, kalau ada hati tersakiti mohon diobati dengan salam maaf sepuluh jari. Karena selembar kertas kita seharusnya tidak perlu beradu punggung, karena setarik garis seharusnya tidak perlu mengikis semua yang telah kita lukis.

Ternyata Gurindam Dua Belas karya Sutan Ali Haji dari Pulau Penyengat itu jika kita narasikan dengan suasana kekinian jadi menarik; seperti model di atas, walau sekilas tampaknya keluar dari pakem. Namun sayang tidak banyak lagi anak negeri yang mau menggeluti karya besar buatan sendiri. Mohon pamit untuk undur diri; kita berpisah di jalan yang sama, tetapi berada pada posisi yang berbeda. Kemaren dulu di Unila sekarang di Malahayati. Namun semua tetap mengabdi untuk kemaslahatan anak negeri. (SJR)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *