Abu Nawas dan Neraka

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seperti pernah disinggung pada tulisan tanggal 14 Desember lalu tentang riwayat hidup Abu Nawas pada salah satu media. Beliau dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik, ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Salah satu nukilannya sebagai berikut : Disuatu siang, tingkah Abu Nawas menggegerkan penghuni Baghdad. Mereka heran, bagaimana bisa orang secerdas Abu Nawas berjalan di siang hari ketika sinar matahari menyorot sambil membawa lampu?.

“Abu Nawas mulai gila,” kata salah seorang warga Baghdad yang tengah memperhatikan Abu Nawas. Walaupun begitu, Abu Nawas tidak peduli. Keesokan harinya ia melakukan hal yang sama, hanya saja kali ini lebih pagi sambil tetap membawa lampu minyak. Tanpa bersuara, Abu Nawas menoleh ke kanan dan kiri. Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Abu Nawas lantas salah seorang diantaranya bertanya kepada Abu Nawas, “Apa yang sebenarnya engkau cari di siang hari dengan lampu di tanganmu itu?”. Abu Nawas menjawab, “Saya sedang mencari neraka.”

Dari situlah, para warga mulai berpikiran bahwa Abu Nawas gila. Bahkan, di hari ketiga ia masih melakukan hal yang sama dan membawa lampu minyak yang kali ini digoyang-goyangkan cara membawanya. Warga Baghdad yang tidak sabar akan perilaku Abu Nawas, lantas menangkapnya. Di Baghdad pada saat itu ada sebuah undang-undang yang melarang orang gila berkeliaran.

Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid justru gembira melihat Abu Nawas ditangkap. Mereka menganggap ketidakwarasan Abu Nawas bisa dijadikan sebagai senjata untuk menyudutkan wibawa sang khalifah.

Malu bukan main atas perilaku Abu Nawas, Khalifah Harun Al-Rasyid memanggil Abu Nawas dan bertanya dengan nada tinggi, “Abu Nawas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang hari begini?”

“Hamba mencari neraka, Paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas lancar, tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya gila. Harun Al-Rasyid berteriak, “Kamu gila, Abu Nawas. Kamu gila!”. Sontak Abunawas menjawab, “Tidak paduka, merekalah yang gila.”

“Siapa mereka yang kau maksud Abu Nawas?” hardik Harun Al-Rasyid. Abu Nawas menjawab, “Mereka yang menangkap saya kemudian membawa ke muka paduka”. Guna melakukan klarifikasi, Abu Nawas meminta kepada Harun Al-Rasyid agar orang-orang yang tadi menangkap dan menggiringnya menuju istana untuk dikumpulkan.

Setelah berkumpul di depan istana, Abu Nawas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka. “Wahai kalian orang yang mengaku waras, apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?” tanya Abu Nawas kepada mereka yang sudah berkumpul. “Benar!” jawab orang-orang itu yang berjumlah ribuan.

Abu Nawas melanjutkan pertanyaannya, “Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?”. Orang yang hadir itu serentak berkata, “Betul, dasar sesat!”. Abu Nawas mengejar lagi dengan pertanyaan, “Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?”. Sontak bergemuruh orang-orang tadi menjawab, “Orang munafik pasti mereka masuk neraka! Dasar munafik, kamu!”

Mendengar itu, Abu Nawas kembali menimpali sambil tersenyum khas, “Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?”. Saat berucap demikian, Abu Nawas mengangkat tinggi-tinggi lampu di tangannya. Ini dilakukan seakan-akan dirinya sedang mencari sesuatu.

Jawaban Abu Nawas membuat orang-orang yang berada di depan khalifah Harun habis kesabaran. Mereka merasa diejek dengan mimik Abu Nawas. Dengan geram mereka berkata, “Hai Abu Nawas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?”.

Dengan takzim, Abu Nawas menghadapkan muka ke Harun Al-Rasyid sambil berkata, “Paduka, mohon maaf. Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar sekali menghakimi dan menentukan orang lain masuk neraka?” tanya Abu Nawas. “Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah atau panitia penentu mana manusia yang masuk neraka dan mana yang masuk surga? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?” lanjutnya.

Ucapan Abu Nawas membuat khalifah Harun Al-Rasyid tertawa. Sungguh jenaka sosok Abu Nawas di mata khalifah, ia lalu berkata sambil masih tergelak, “Abu Nawas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu, jebloskan orang-orang ini ke dalamnya”.

Dari nukilan cerita di atas, mari kita lihat sekeliling kita, banyak kita jumpai saudara-saudara kita yang seolah menjadi petugas pengadilan Tuhan. Dengan ringan mulut mengucapkan “Si Anu itu bakal masuk neraka jahanam”, tidak jarang itu diucapkan melalui mimbar yang seharusnya bernuansa teduh, ngayomi dan memberikan pencerahan, bukan penghakiman. Padahal sudah diingatkan oleh para alim ulama jauh-jauh hari, bahwa seseorang yang memperoleh surga-Nya Allah bukanlah karena amal perbuatannya tetapi semata-mata karena Rahmat dan izin Allah semata. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman