Saya Kehilangan yang Bukan Punya Saya

 

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati, Pemerhati masalah Sosial dan Pendidikan

Di suatu pagi, dalam rangka mempersiapkan proposal program studi baru, dimulailah pencarian arsip jejak-jejak lama yang pernah dibuat. Saat itu menjumpai teman sekaligus sahabat dan entah apalagi yang dapat mendeskripsikan kedekatan kami berdua. Dari usia, beliau di bawah saya, tetapi dari kematangan keilmuan bidangnya, belum ditemukan penerus apalagi penggantinya.

Saat ini beliau mempersiapkan diri kaitannya dengan usulan Guru Besarnya; saat diminta bantuan untuk meminjamkan naskah Proposal Pendirian Program Studi, dengan sangat cepat dipersiapkan di atas meja. Tebal proposal itu sendiri sama dengan bantal tidur kita di rumah, karena kelengkapan informasinya sangat padat.

Saat penulis berpamitan akan kepindahan tugas pengabdian dengan segala persoalan yang melatarbelakanginya, terbaca pada raut muka dan sinar matanya ada sesuatu perasaan yang dibendung untuk keluar, ternyata bendungan itu jebol dan keluarlah kalimat “Saya kehilangan yang sejatinya bukan punya saya”. Kalimat filsafat seperti ini maknanya sangat dalam dan mendasar, apalagi diucapkan oleh seorang Doktor Pengajar Filsafat Hukum di level pendidikan strata tiga.

Selesai menjumpai beliau, kemudian menuju Gedung Pascasarjana lainnya; ini dikomandani oleh seorang Guru Besar yang baru dikukuhkan. Srikandi ini beberapa tahun yang lalu saat menyelesaikan program Doktor, penulis menjadi penguji eksternalnya. Penelitian yang berkaitan dengan kurikulum dilakukan dengan nyaris sempurna, penguasaan materi sangat baik, sikap kesopansantunan juga sangat kental sebagai warga Parahiyangan.

Kecerdasannya tampak pada sorot mata keibuan, dan kekuatan mentalnya bagai baja yang memang sudah terterpa sejak lama, tepatnya sejak harus memutuskan hidup sendiri setelah ditinggal oleh belahan jiwa karena menghadap Ilahi.
Beliau inipun sama dengan teman di atas; manakala dipamiti untuk alih tugas dengan berikut alasannya; ada pertanyaan yang beralih mejadi pernyataan dengan kalimat “Sebegitunya ya”. Diksi ini tampak sekali ada sesuatu ketidakberterimaan diri akan sesuatu; karena seharusnya dan senyatanya sama sekali tindak tumbuh. Beliau juga merasa kehilangan sesuatu yang tidak dimiliki, setelah mendengar alasan harus alih tugas ke tempat lain.

Berkaca dari dua peristiwa di atas ternyata manakala manusia berada pada posisi ketidakberterimaan dari sesuatu, maka yang di rasakan begitu anehnya hidup ini. Seolah-olah kita berada pada lorong waktu yang tidak mengetahui mana unjungnya, karena selalu memulai dari yang baru; kebaharuan itulah sebagai penanda ketidakabadian.

Dengan kata lain apapun di dunia ini memiliki periodesasi, dan periodesasi itu akan dilanjutkan oleh periodesasi berikutnya. Masing-masing periodesasi ini memiliki ruang, dan orang yang berbeda. Tidak jarang periodesasi ini tidak berhubungan satu sama lain; akan tetapi berkelanjutan satu sama lain; pada posisi itulah perubahan terjadi.

Kita tidak bisa memaksa sang waktu, atau dalam bahasa jawa disebut “nggege mongso”; sebab waktu adalah spektrum yang melingkupi semua yang ada. Betapa maha dahsyatnya Sang Pemilik Waktu, karena pada “genggamanNYA”- lah skenario berjalan sesuai kehendakNYA.

Oleh sebab itu orang bijak mengatakan: “Apa yang kita harapkan belum tentu baik, tetapi apa yang Tuhan tetapkan itu pasti baik”; oleh karena itu sekalipun kita merencanakan dan berupaya untuk mewujudkannya, bukan jaminan itu akan berhasil, sebab keputusan berhasil atau tidak itu bukan wilayah manusia, dan apapun hasilnya itu pasti yang terbaik untuk mereka yang beriman kepada Tuhan.

Tidak diizinkannya untuk melanjutkan sesuatu, ternyata ada tugas lain di tempat lain yang harus dikerjakan, dan itu adalah skenario besar yang diluar jangkauan perspektif manusia. Tuhan mengatur semua dengan kekuasaanNYA. (SJ)

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply