Tulis Menulis
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menulis adalah pekerjaan kuno yang pernah dilakukan manusia. Menurut catatan tulis-menulis memiliki sejarah begitu panjang. Bangsa Sumeria (3.500-3.000 Sebelum Masehi) pertama kali menciptakan tulisan sebagai alat komunikasi jarak jauh yang diperlukan dalam perdagangan. Dengan meningkatnya kota di Mesopotamia dan kebutuhan sumber daya berkurang, perdagangan jarak jauh harus dilakukan. Sehingga, untuk berkomunikasi melintasi antar kota atau wilayah, para pedagang dan konsumen menggunakan tulisan sebagai alat komunikasi.
Bentuk tulisan paling awal adalah pictographs atau piktograf (simbol yang mewakili obyek). Berfungsi untuk membantu mengingat apa saja yang dibeli dan apa yang telah dikirim. Bisa juga sebagai catatan berapa banyak barang yang diperlukan atau jenis barang yang dibeli atau dijual. Bahkan tulisan piktograf untuk mencatat berapa banyak domba yang diperlukan untuk acara pengorbanan di kuil.
Piktograf tersebut ditulis pada tanah liat basah yang kemudian dikeringkan. Hal tersebut menjadi catatan resmi perdagangan. Dari semua catatan yang ada, paling banyak menyimpan catatan penjualan bir. Hal ini karena bir menjadi minuman populer di Mesopotamia kuno. Namun, catatan piktograf hanya berisi barang dan benda. Bukan sistem penulisan seperti saat ini. Sehingga catatan itu tidak memberikan secara rinci, dari mana, dikirim ke atau diterima dari siapa. Untuk lebih mengekspresikan konsep tulisan, bangsa Sumeria mengembangkan fonogram. Fonogram adalah simbol yang mewakili suara. Suara ini adalah bahasa yang diucapkan orang-orang Sumeria. Dengan fonogram, seseorang dapat dengan mudah menyampaikan makna yang tepat. Misalnya dua domba dari toko dalam keadaan hidup. Jenis tulisan fonetis ini menjadi awal dari sistem penulisan sejati yang ditandai dengan kombinasi piktogram dan fonogram. Tulisan fonetis adalah tulisan yang digunakan untuk mencatat bunyi-bunyi bahasa secara detail.
Itu sejarah tulis-menulis yang diperoleh dari berbagai sumber. Kebiasaan tulis-menulis itu hampir ditemui pada banyak kelompok manusia pada waktu itu. Untuk Nusantara ternyata Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan catatan sebagai berikut: Indonesianis dari Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga sudah muncul sejak berabad-abad silam. Beliau meneguhkan penjelasannya sbb: ….”Karena sudah memiliki kekayaan tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau untuk tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya,”….
Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya, merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan tradisi menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta. Sebab hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat, ujar Putten. Sedangkan naskah kuno di Sulawesi Selatan seperti I La Galigo mengisahkan epos penciptaan yang menjadi kepercayaan masyarakat Bugis kuno. Dari berbagai sumber ditemukan kesimpulan bahwa tradisi tulis dengan pola huruf di Nusantara ini dikenal hanya huruf Batak, huruf Lampung, huruf Jawa, dan huruf Bugis. Sementara itu huruf Arab berkembang belakangan seiring dengan masuknya agama Islam di wilayah ini.
Ternyata kebiasaan menulis dilakukan oleh banyak para pemuka agama yang hidup pada masanya. Mereka memiliki karya tulis hasil kajian yang kemudian dibukukan, dan menjadi karya besar, bahkan sampai saat ini karya itu menjadi mail-stone. Tulisan yang dibukukan dijadikan acuan atau rujukan kajian sesuai bidangnya.
Sementara saat dengan kemajuan teknologi digital, kemudahan akan menulis betul-betul disuguhkan di hadapan siapa saja. Namun sayang, banyak diantara kita yang tidak memahami etika menulis, sehingga membuat persoalan di kemudian hari. Sementara yang memiliki kemampuan menulis, banyak yang tidak tertarik lagi untuk menulis, karena yang semula ada hubungan antara produksi tulisan dengan pendapatan, apa lagi pada era surat kabar konvensional; sekarang hubungan itu sudah berakhir. Dan, yang tinggal adalah mereka-mereka yang hanya menikmati “kemerdekaan berfikir” nya untuk dapat disumbangkan kepada khalayak tanpa pamrih apapun. Menyedihkan lagi dunia perguruan tinggi yang katanya tempat bersemayamnya ilmu, hanya tertarik dengan jurnal, laporan, dan model-model yang hanya teman selingkungannya yang paham.
Untuk memposisikan tulis-menulis sebagai kerja intelektual tidak pernah diberi ruang, justru sering dicurigai sebagai oposan dari kelompok yang berseberangan, sehingga ada guru besar yang sering menuangkan ide gagasan dan atau pemikiran orsinal, justru dicurigai dan diusir karena tulisannya dianggap kasar,. Sementara ukuran kasar atau halus itu sangat subyektif sekali, karena sangat tergantung dari sudut pandang dan kepentingan pribadi. Dengan kata lain mereka beranggapan bahwa tulisan yang baik ukurannya jika bisa memuji dan memuja para “bendoro” yang sedang berkuasa.
Kita harus memerdekakan pemikiran kita dan harus mencari kebenaran lewat fakta, demikian seorang tokoh filusuf dunia pada jamannya berpendapat tentang modal dasar untuk menulis. Tampaknya mencari kebenaran lewat fakta, salah satu diantaranya diperoleh dari membaca, dan membaca ini sekarang berada pada tingkat menghawatirkan di negeri ini. Melek literasi adalah semacam tantangan tersendiri bagi generasi saat ini, mereka lebih sibuk menjadi penikmat produk gaget; bukan pemanfaat yang handal dari media gadget.
Jika indikator media online kita jadikan tolok ukur, ternyata tidak banyak lagi penulis yang mau menggelontorkan gagasan, konsep atau ide orisinil; banyak diantara mereka sekarang hanya menjadi komentator dari fenomena yang ditulis sebagai berita; atau mengomentari tulisan orang lain. Tampaknya ada kebuntuan di sana yang tidak jelas apa yang menjadi penyebabnya. Lebih miris lagi usia penulis yang ada saat ini sudah terbilang tidak muda lagi, oleh karena itu dikhawatirkan penerus generasi akan mengalami masalah di kemudian hari. (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!