Pesan Pendahulu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu seorang mahasiswa program doktor yang pernah menjadi bimbingan penulis mengirim komentar setelah membaca artikel, isi lengkapnya pesan itu demikian…”perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”… kalimat ini adalah sepenggal dari Pidato Ir. Soekarno, saat memperingati Hari Pahlawan 10 November 1961. Dan, saat dikonfirmasi ke beberapa rekan ternyata diberi komentar “sahih”.

Lebih lanjut mahasiswa program doktor yang cerdas tadi menambahi komentar yang dialih tuliskan sebagai beriku: skema penjajahan tempoe duloe adalah datang, rebut hasil buni, kuasai wilayah, dan rakyat melawan. Kemudian, penjajah pergi rakyat Merdeka. Skema pejajahan jaman now; penjajah datang, temui pejabat, pejabat lewat kekuasaan merebut paksa wilayah. Rakyat melawan, rakyat ditangkap dengan dalih tidak mendukung program. Apakah kita tidak selamanya terjajah. Walau komentar ini tampaknya sedikit emosional, namun untuk beberapa hal ada benarnya; tinggal dari sudut mana kita mau memandangnya. Hanya dipesankan jangan pembaca ikut-ikutan emosional.

Peristiwa lain juga terjadi sebagai pembenaran thesa mahasiswa tadi, bisa dibayangkan kalau saat ramai-ramai pencalonan anggota legislatif, ternyata mantan koruptor-pun bisa melenggang untuk ikut kontestasi politik dengan mencalonkan diri. Saat dilakukan crosscek ternyata yang bersangkutan menjawab dengan ringan “penyuap saja bisa jadi pejabat, masa kami tidak”.

Nun jauh di sana di perbatasan negeri, sekarang sedang terjadi apa yang diucapkan pendiri negara ini. Cara pandang yang berbeda antara penguasa dan rakyat jelata sedang terjadi. Atas nama kemakmuran sebagai pembungkus kegiatan pengalihfungsian lahan sedang berlangsung. Semua mencari benarnya sendiri; rakyat menuduh pemerintah dholim, pemerintah memberi stempel rakyat membangkang. Hanya karena membela Cuan dan Tuan yang semula damai berubah menjadi prahara. Sampai-sampai seorang panglima yang seharusnya dalam berbahasa tertata baik, ikut terjebak dalam “lumpur salah diksi” sehingga harus minta maaf walau sudah terburu melukai hati rakyat.

Dari semula negeri ini dirancang oleh para pendiri menjadi rumah besar bagi anak negeri, tidak peduli dengan latarbelakang yang berbeda; namun semenjak kerakusan melanda, entah dari mana musababnya sehingga semakin hari rakyat menjadi semakin terhimpit. Kemarau berkepanjangan, harga pangan merangkak naik, hasil panen gagal; walau semua ditutupi dengan operasi pasar, namun sejatinya bukan di sana masalahnya. Daya beli yang semakin terjun bebas, sekalipun ada barangnya; namun kemampuan untuk membeli yang makin hari makin merosot. Namun dalam pidato para punggawa negeri ini tetap mengatakan kita dalam keadaan baik-baik saja.

Tidak jauh dari ibu kota negeri ada ibu yang berputra tiga harus melakoni sebagai pencuri telur di Swalayan, dan apesnya beliau tertangkap. Untung petugas kepolisian baik hati dan suka menolong; sang ibu diberi bantuan natura dan dibebaskan dari tuntutan. Pertanyaan lanjut berapa banyak keluarga yang serupa tapi tak sama dengan keluarga ini. Mestinya negara hadir ditengah mereka, bukan aparat sebagai pribadi tetapi seharusnya institusi yang memiliki urusan tentang ini. Betapa banyaknya negara ini sudah abai dengan anak negerinya sendiri.

Rasanya tidak salah jika kita mau kembali sejenak meluangkan waktu membuka kembali lembaran lama untuk membaca pesan leluhur, jangan sampai menyesal kemudian tidak berguna. Salah satu pesan leluhur adalah bermusyawarah lah hingga mencapai mufakat, andai kata mufakat juga tidak tercapai maka carilah jalan keluar yang sama-sama menyenangkan. Tidak ada persoalan yang tidak bisa di urai asalkan masing-masing pihak tidak memaksakan kehendak. Semoga kasus Rempang menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua. Janganlah mendekati rakyat saat pemilihan saja, manakala rakyat dalam kesulitan semua menghilang bak ditelan bumi. Pemerintah tidak perlu juga memaksakan kehendak melalui kekuasaan, sebab pada waktunya nanti kekuasaan itu ada akhirnya. SSJ)

Selamat ngopi pagi.