Diskursus Pendidikan di Lampung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu mendapat undangan dari Sekretariat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Lampung untuk ikut sumbang pikir tentang pendidikan di Lampung dan menerawang ke depan, membayangkan Indonesia/Lampung emas tahun 2045. Diskusi dibuka dengan moderator wartawan kawakan Heri Wardoyo. Semua insan pers pasti mengenal siapa beliau yang pernah “lompat pagar” sejenak untuk menjadi Wakil Bupati Tulangbawang.
Skenario pesimis beliau bentang dengan berdasar pada penelitian yang dilakukan Elizaberth Pisani orang Amerika menetap dan berkewarganegaraan Inggris itu, yang garis lintasnya mengatakan pendidikan yang dilakukan Indonesia untuk warganegaranya itu gagal. Ukuran yang dipakai dari penguasaan matematika yang rendah, tingkat literasi yang memprihatinkan, sampai dengan peraih penghargaan Nobel, semua berapor merah. Tataran konsep ini dipakai Mas HRW (begitu inisial beliau) untuk menghakimi pendidikan di Indonesia. Kesimpulan beliau Indonesia gagal dalam membangun pendidikan, perlu banyak hal yang harus diperbaiki, dan satu point bagus pemikiran beliau “membangun pendidikan itu memerlukan yang tidak sebentar”.
Pembicara lain, Prof.Bujang Rahman (BR), mencoba melihat dari perspektif lain. BR melihat pendidikan oleh negara ini baru sebatas perspektif tugas sosial, jadi “yang penting semua orang sekolah/kuliah, soal mutu itu bicara nanti”. BR menawarkan ada semacam revisi berpikir harusnya dilakukan oleh negara ini ke depan. Sementara untuk Lampung sendiri BR menawarkan integrasi pengelolaan pendidikan dalam satu wadah nondepartemen yang mensinkronkan langkah kebijakan guna membangun pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah atas. BR juga menyadarkan bahwa membenahi pendidikan itu memerlukan waktu lama.
Polarisasi peserta diskusi tidak terjadi, karena lebih banyak mengekplanasi lembaga tempatnya berada dan lebih pada tataran teknis. Hanya yang sedikit berbeda walau sama dalam “membantalkan” pendapatnya pada HRW adalah Herman Batin Mangku (HBM). Beliau melihat bahwa pendidikan sudah begitu rusaknya di setiap lini. Kehadiran pemerintah di tengah persoalan pendidikan sering terlambat, bahkan sering mencari kesalahan pihak lain terlebih dahulu, baru berbuat. HBM juga menengarai bahwa dunia pendidikan di Lampung sedang tidak baik-baik saja.
Ada seorang peserta dari Forum Guru Independen yang cukup berani mengatakan bahwa pendidikan di lampung ini sudah sakit, dengan puncak jebolnya moral pendidikan dengan ditangkapnya oleh KPK seorang pimpinan tertinggi perguruan tinggi negeri di Lampung ini, karena melakukan pelanggaran moral yang sangat berat.
Kejadian kemudian beruntun dari anak yang tidak bisa ambil rapor karena belum bayar uang Komite, ada anak yang tidak sekolah karena miskin, ada usia 9 tahun belum sekolah, terakhir perilaku tidak senonoh dipertontonkan oleh Tenaga Pengajar pada Perguruan Tinggi negeri berbasis agama. Betapa centang perenangnya moral pendidikan di daerah ini. Namun, ada angin segar yang berhembus pada diskusi ini ialah di kota ini ada perpustakaan daerah yang sudah cukup representatif untuk dijadikan rujukan sarana pendidikan. Kepala Perpustakaannya sendiri hadir dengan membentangkan fasilitas yang tersedia, dari buku yang cukup banyak sampai sarana digitalisasi-pun telah disiapkan. Hampir semua peserta yang hadir baru mengetahui kalau di kota ini ada perpustakaan yang bagus, walaupun menyisakan pertanyaan lanjut: Untuk apa Pemerintah Provinsi juga ikut membangun perpustakaan?
Sampai diskusi ditutup, tidak ada jawaban yang pasti.
Sementara anak-anak muda yang hadir dalam diskusi terkesan belum memiliki perspektif nasional, mereka lebih berkutat pada kata “harusnya”, belum pada “upaya apa”. Namun sebagai manusia muda yang sedang berkembang, hal ini adalah modal dasar untuk menjangkau ke depan seperti apa.
Sebelum sampai pada catatan akhir yang disampaikan oleh Gino Vanoli (GF) ada paparan penelitian yang sebelumnya sudah penulis bagikan bahwa untuk Lampung pada tahun 2035 guru guru SLTA, SLTP, SD; terutama sekolah negeri, sudah tidak memiliki guru yang berstatus pegawai negeri. Beban pendidikan beralih dari negara ke masyarakat. Skenario ini banyak tidak disadari oleh masyarakat, karena terbungkus rapi oleh bantuan yang sering menyesatkan. Pemerintah daerah terkesan hanya menunggu instruksi pusat, tidak ada upaya terobosan konkret guna menyongsong lampung emas pada lini pendidikan.
Bisa jadi, sebenarnya sekolah-sekolah di Lampung sudah menunjukkan performa yang bagus, capaian prestasi bagus, namun tingkat ekspektasi masyarakat ternyata jauh lebih cepat berkembang dibandingkan dengan capaian yang ada. Akibatnya apa yang diperoleh selalu tertinggal dari harapan.
Sebagai catatan akhir, diskusi seperti ini seyogianya sering dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah dan harusnya dihadiri oleh seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah. Bukan alasan sibuk atau ketidaktahuan sehingga tidak pernah hadir di hadapan publik. Jangan hanya saat butuh suara mau mendekat, setelah duduk lupa kursi. Demikian juga anggota dewan perwakilan rakyat provinsi untuk dapat hadir, paling tidak mau mendengarkan aspirasi yang berkembang di bawah. Jangan pula berprinsip “aku datang kalau menang”. Perlu diingat bahwa anda duduk karena suara kami.
Terimakasih Mas GF sebagai inisiator dan teman-teman Lingkar Diskusi Akademik Lampung yang telah menggagas pemikiran cerdas seperti ini. Walau mungkin kita hanya menyiram air di Padang Pasir, namun kita sudah berbuat yang terbaik yang kita miliki untuk negeri ini. Memang pendidikan adalah investasi bangsa jangka panjang yang mahal. Namun, kita semua yakin lewat pendidikanlah kita mencerdaskan bangsa ini, dan kita sadar bahwa saat ini dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja. (SJ)