UKT = Uang Kuliah “Tinggi”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Berita tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sangat tinggi, akhir-akhir ini menyeruak ke permukaan, bahkan ada perguruan tinggi negeri yang mematok sampai harga seratus juta rupiah lebih. Di sisi lain, badan statistik nasional merilis data bahwa rata-rata tingkat pendidikan di negeri ini hanya kelas tujuh; berarti setara dengan pendidikan anak sekolah lanjutan pertama kelas satu. Jika dibuka kurikulumnya mereka baru sampai batasan pengenalan benda, proses sederhana, dan hal-hal remeh temeh lainnya.

Keadaan itu dikejutkan bak halilintar di tengah hari dengan pernyataan petinggi yang mengurusi bidang pendidikan dengan pernyataan…”jenjang pendidikan tinggi itu bersifat tersier”…. Artinya bukan skala prioritas untuk anak negeri ini, dengan alasan perioritas utama ada pada pendidikan dasar. Dengan logika sederhana maka tidak harus kuliah karena kuliah itu untuk mereka yang berduit.

Pejabat sekelas profesor itu mengucapkannya tanpa ada rasa empati atas anak negeri; bahkan terkesan memperlebar jurang antara orang kaya dengan mereka yang kurang beruntung. Label yang ditabalkan kepada pendidikan tinggi seolah-olah membenarkan apa yang diterapkan pemerintah kepada rakyatnya. Beliau lupa bahwa tugas profesor itu diantaranya adalah ikut mencerdaskan bangsa, bukan ikut membodohkan bangsa dengan mengkuti kemauan pemerintah yang juga kadang sesat.

Berbeda lagi dengan saat anak negeri ini melamar pekerjaan dimanapun berada, mereka selalu dihadapan dengan kalimat …..”berijazah minimal sarjana”…. Padahal untuk menjadi calon anggota parlemen tidak setinggi itu syaratnya, bahkan menjadi presiden cukup Sekolah Lanjutan Atas.

Menjadi lebih gila lagi jika kita bandingkan secara statistik, ternyata jumlah sarjana dari total penduduk di negeri ini dibandingkan negara-negara lain masih sangat minim. Data lain menunjukkan jumlah perguruan tinggi negeri jauh lebih sedikit dibandingkan perguruan tinggi swasta; ini berarti seharusnya pemerintah punya keleluasaan dana untuk membiayai perguruan tinggi negeri, dibandingkan dengan swasta. Namun ini justru terbalik; perguruan tinggi swasta yang dana operasionalnya sangat tergantung dari uang masuk sumbangan mahasiswa, dan jumlahnya sangat kecil itu; masih mampu bertahan dan berkualitas, bahkan masih ngopeni anak negeri yang secara ekonomi kurang beruntung.

Anehnya urusan standardisasi pemerintah sibuk menyetandarkan swasta menjadi negeri untuk urusan akademik, tetapi untuk urusan pendanaan mereka tidak pernah mau belajar kepada swasta bagaimana harus mengelola dengan baik. Buktinya rektor perguruan tinggi negeri yang ditangkap KPK jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan rektor perguruan tinggi swasta. Bahkan ada rektor perguruan tinggi negeri yang tega memeras calon mahasiswa untuk membayar sejumlah uang guna masuk kefakultas favoritnya. Sementara uangnya dibagi-bagikan kepada para pendereknya, dan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Atas pertimbangan yang sulit dipahami dengan menggunakan istilah uang kuliah tunggal yang mengharuskan masuk sebanyak-banyaknya, maka jumlah mahasiswa yang diterima menjadi tidak terbatas. Berlindung dengan beragam jalur, yang ujung-ujungnya harus bayar sekian. Ada mantan dekan dari perguruan tinggi negeri mengeluh karena harus mengajar mahasiswa program sarjana jumlahnya tiga kali lipat dari kapasitas normal. Beliau sangat prihatin akan mutu yang akan diperoleh, sementara perguruan tinggi swasta harus mau menanggung beban, sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus “obyokan” dari perguruan tinggi negeri. Adagium kalau di perguruan tinggi negeri susah mencari dosen, sementara kalau di perguruan tinggi swasta susah mencari mahasiswa; seolah menjadi sempurna jadinya.

Upaya seleksi sosial yang dibangun di negeri ini seolah-olah memang dijadikan semacam nilai yang bersifat kontradiktif. Satu sisi setiap lembaga pendidikan, terutama negeri, diberi dana bantuan dengan bermacam nama, tetapi tetap saja peserta didik harus bayar; itupun jumlahnya tidak lagi memperhatikan rasio dosen dengan mahasiswa, lebih kepada orientasi profit. Sementara perguruan tinggi swasta yang mengandalkan jumlah mahasiswa untuk pendanaan dibiarkan mencari upaya sendiri; namun untuk administrasi akademik yang terkadang tidak ada hubungannya dengan kelembagaannya diminta untuk diadakan, dengan ancaman jika tidak bisa memenuhi aturan itu dipersilahkan tutup.

Pada batas-batas tertentu untuk pengendalian mutu, hal tersebut baik-baik saja; namun jika pelayanan itu menyangkut semua aspek, termasuk aturan administrasi personal, rasanya kurang tepat; sebab yayasan mempunyai kebijakan sendiri dalam rangka mengamankan asset dan kepemilikian dan keberlanjutan.

Di negeri ini menjadi terkesan jika berurusan dengan uang, jika untuk kepentingan pemerintah harus sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, tiba giliran untuk warganya maka prinsipnya berubah menjadi …“ kalau bisa nanti kenapa harus sekarang”. Contohnya sampai tulisan ini dibuat ada sekolah negeri yang gurunya belum menerima uang sertifikasi; bahkan kenaikan gaji duabelas persenpun belum mereka nikmati. Jika ditanyakan ke pusat jawabannya itu wewenang daerah, jika ditanyakan ke daerah, jawabannya itu wilayah pusat. Namun begitu nanti ada pemilihan kepala daerah, maka hampir semua calon mendatangi guru dengan berbagai dalih.

Masih banyak lagi persoalan yang tidak mungkin diurai pada media ini, sebab membacanya akan membosankan, dan banyak lagi komentar “itu curhat saja” atau “kelompok tidak puas…jangan didengar…”; yang lebih menyakitkan lagi dijawab “ini kan era kami”. Semoga yang waras atau merasa waras dapat memahami, jika masih ada orang yang peduli berarti di sana masih ada rasa sayang kepada negeri.
Salam Waras (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply