Harum Tanpa Bunga, Terang Tanpa Lampu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Judul di atas adalah terjemahan dari filosofi jawa “wangi tanpo kembang, padang tanpo dimar (lampu)” merupakan bagian dari filosofi Jawa yang mengandung makna mendalam dan penuh kearifan lokal. Filosofi ini mengajarkan bahwa keindahan sejati dan kebijaksanaan sejati tidak selalu membutuhkan penampilan atau sarana yang terlihat. Berikut adalah beberapa interpretasi dari ungkapan tersebut: Pertama: Kesederhanaan yang Memancarkan Kebaikan: Ungkapan ini mengajarkan bahwa seseorang dapat membawa keharuman atau kebaikan (wangi) dalam hidup orang lain tanpa harus memamerkan atau memperlihatkan sesuatu yang mewah atau indah (kembang). Begitu juga, seseorang bisa memberikan pencerahan atau kebijaksanaan (padang) tanpa perlu menunjukkan sesuatu yang mencolok atau terang (lampu). Kedua: Kekuatan dari Dalam: Filosofi ini juga menekankan pentingnya kekuatan dan keindahan yang datang dari dalam diri seseorang, bukan dari penampilan luar atau atribut fisik. Nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan ketulusan dianggap lebih penting daripada hiasan luar.
Ketiga: Keikhlasan dan Kebijaksanaan: “Wangi tanpo kembang” dan “padang tanpo lampu” juga menggambarkan keikhlasan dalam tindakan dan kebijaksanaan dalam berpikir. Ini berarti seseorang bisa berbuat baik dan memberi pengaruh positif tanpa mengharapkan pujian atau pengakuan dari pihak lain; tindakannya semata-mata hanya karena untuk beribadah kepada Sang Pencipta.
Keempat: Esensi di Atas Penampilan: Filosofi ini menekankan bahwa yang terpenting adalah esensi atau substansi dari seseorang atau sesuatu, bukan penampilannya. Hal ini selaras dengan ajaran moral tentang pentingnya budi pekerti dan moralitas di atas segala atribut fisik atau materi. Dengan kata lain, ungkapan ini mengajak kita untuk menghargai nilai-nilai yang lebih dalam dan esensial, serta untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang memberikan manfaat dan pencerahan kepada orang lain tanpa harus bergantung pada hal-hal yang bersifat material atau penampilan luar.
Sayangnya filosofi yang sangat dalam maknanya ini sekarang sudah menjadi barang langka seturut dengan bergesernya pandangan hidup kebanyakan kita. Aspek materi atau kebendaan dan sikap hedonis yang menyeruak jauh dalam kehidupan ini, menjadi pemuja akan materi dan kepuasan duniawi dijadikan pilihan utama. Banyak orang beranggapan akan menjadi wangi karena hartanya dan jalannya akan terang karena uangnya.
Sesuatu disebut nyata manakala berwujud, padahal hampir semua kita mengetahui ada hal yang tidak nyata tetapi ada. Dan, banyak diantara kita juga mengetahui bahwa hati yang terang itu melampaui cahaya matahari seterik apapun. Kesesatan berfikir mulai tampak nyata dihadapan kita; contoh yang dapat kita jadikan tamsil: sebelum dapat kita mudah berjanji, namun setelah diperoleh semua dengan mudah untuk diingkari. Sehingga seolah hati menjadi gelap, dan wangi yang ditebar sejatinya bunga reflesia.
Pembenaran akan kesalahan seolah memudahkan kita untuk mengatakan bahwa harumnya bunga mawar itu tidak seindah warna aslinya. Namun pemutaran logika serupa ini menjadikan pembenaran seolah-olah sah dalam hakiki; walau banyak orang mencibir dalam hati. Pemutarbalikan bahkan menjadikan distorsi, akhir-akhir ini justru banyak dilakukan tanpa harus malu; sekalipun harus menjilat kembali ludah sendiri.
Tampaknya hukum “tabur tuai” dalam konteks ini menjadi begitu relevan dengan filosofi jawa “siro sing nandur, yo siro sing panen”; makna kongkritnya ialah siapa yang menanam ya dia yang patut untuk memanen. Pada umumnya filosofi ini diteruskan dengan ucapan ….“Gusti Alloh ora sare….” yang terjemahan bebasnya “Tuhan tidak tidur”; maksudnya ialah bahwa apapun yang kita perbuat Tuhan Maha Mengetahui. Kita bisa menghindar dari hukum dunia (manusia) namun tidak dapat menghindar sedikitpun dari hukum Tuhan. Kita bisa beralasan atau berargumentasi dengan dalih “meluruskan”, namun kita tidak dapat menghindar dari catatan hati yang telah ditulis dalam lembar amal. Dengan kata lain kita bisa menipu siapa saja di muka bumi ini, namun kita tidak bisa menipu diri sendiri, karena di dalam hati kita selalu ada wilayah keilahian yang selalu mengingatkan kita; hanya persoalannya maukah kita mendengar peringatan itu. Pada posisi ini sering kita buta hati, dalam arti tidak mengindahkan peringatan hati nurani akan jalan ketuhanan.
Mari kita luruskan niat untuk membangun negeri ini tanpa harus berharap untuk terkenal “harumnya nama dan berlimpahnya harta”; karena jika itu yang menjadi tujuan, maka bersiaplah untuk kecewa. Sebaliknya manakala kita melakukannya dengan ihlas, maka malaikat akan mencatatnya sebagai amal. Tinggal sekarang semua pilihan ada ditangan kita. Bisa jadi kita memilih menimbun harta diperoleh dengan cara apa saja, termasuk mengkorupsi triliunan rupiah, namun pertanyaan akhir…apakah itu akan kita bawa keliang kubur saat kita dimakamkan… Jawabannya kita tanyakan pada rumput yang bergoyang..kata Ebit G Ad.
Salam waras.
Editor: Gilang Agusman
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!