Membeli Mimpi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu, sambil menunggu matahari naik kebiasaan kami berdua diskusi atau berbicara soal remeh-temeh sampai yang berat di ruang tamu. Rumah kopel itu menjadi hangat karena sambil minum kopi bicara ngalor ngidul, sesekali diselahi dengan kencangnya urat leher karena ketulian kami berdua; tak beberapa lama pasangan hidup saya di rumah ini komentar “Pak judul tulisannya jangan itu, karena terlalu awam sementara tulisan ini ada pada wilayah langit (untuk menyebut wilayah filsafat)”. Sontak komentar itu menjadi bahan renungan karena beliau adalah wakil pembaca tulisan yang tulen selama ini, walaupun mungkin subyektif; tetapi kali ini komentarnya mengena. Maka judul yang sudah dipikirkan berjam-jam itu dimusnahkan, dan direnungkan kembali yang lain dari sudut dan masalah lain.
Untuk merekonstruksi pemikiran saat membuka media sosial, melintas postingan seorang mantan pejabat administratif yang mencalonkan diri untuk menjadi pejabat publik, tentu dengan narasi indah mengenai visi dan misinya jika beliau terpilih menjadi pejabat. Penelusuran dilanjutkan ke kolom komentar, tentu beranekaragam komentar yang ada, dari yang mendukung sampai yang menentang.
Ternyata kesimpulan yang dapat diambil adalah beliau sedang menjual mimpi, agar kelak ada yang mau membeli mimpinya sehingga beliau bisa duduk sebagai petinggi daerah ini. Dan, jadilah judul tulisan ini tanpa terkena sensor teman hidup yang selalu koreksi dengan caranya.
“Menjual mimpi” dari penelusuran digital ditemukan batasan: adalah ungkapan yang mengacu pada tindakan seseorang yang menawarkan harapan atau janji-janji besar yang mungkin tidak realistis atau sulit dicapai. Biasanya, ungkapan ini memiliki konotasi negatif, dimana seseorang atau sekelompok orang memberikan janji-janji manis atau harapan yang tinggi kepada orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, baik itu dalam bentuk uang, dukungan, atau popularitas.
Sementara itu “membeli mimpi” adalah sebuah ungkapan yang memiliki makna kiasan, yaitu menggambarkan tindakan atau upaya seseorang untuk mencapai impian atau tujuan yang sangat diinginkan, seringkali dengan mengeluarkan banyak usaha, waktu, atau sumber daya. Ungkapan ini menunjukkan bahwa impian tersebut seakan-akan dibeli dengan harga tertentu, meskipun bukan dalam arti harfiah. Ini bisa mencakup berbagai hal seperti pendidikan, pelatihan, kerja keras, atau bahkan investasi finansial untuk mencapai suatu cita-cita besar.
Ternyata dalam kehidupan perpolitikan yang berkaitan dengan pilih-memilih, kita tidak dapat melepaaskan diri dari jual-beli mimpi. Hal itu dibaca dari indikasi yang ada melalui account masing-masing bakal calon jabatan kepala daerah, mereka semua sedang asyik menjual mimpi indah kepada semua orang. Terlepas apakah mimpi yang dijual itu laku atau tidak, bukan persoalan, akan tetapi bagaimanapun upaya menjual mimpi itu kita harus hargai dan hormati. Pilihan untuk “membeli atau tidak membeli” adalah wilayah pribadi kita masing-masing.
Kita harus hormati bagaimana mereka para bakal calon mengemas mimpi jualannya disertai dengan narasi-narasi yang luar biasa bagusnya. Tentu ini merupakan lahan para kreator untuk mengeksplorasi baik kemampuan maupun cuan. Hukum dagang disana berlaku, salah satu diantaranya “makin baik makin mahal”, atau juga “makin naratif harga makin naïf”. Tentu saja semua menjadi relatif, karena harga sangat ditentukan selera.
Tinggal kita menyikapinya, jika memang tertarik untuk membeli mimpi dengan juga caranya ikut bermimpi, tidak menjadi persoalan. Siapa sangka nantinya bahwa mimpi itu menjadi kenyataan, karena mengejar mimpi tidak ada undang-undang yang dilanggar, atau juga tidak ada aturan “dilarang mimpi” karena mimpi itulah membuat kita menjadi terlena dalam tidur yang panjang dan pulas. Namun jangan pula kita hanya mimpi sepanjang masa, karena itu adalah pekerjaan sia-sia.
Tampaknya membeli mimpi dan menjual mimpi tidak hanya melanda perseorangan, tetapi juga melanda perusahaan-perusahaan, termasuk juga perusahaan plat merah; betapa terkejutnya kita baru baru ini ada satu koorporit atau perusahaan besar yang berurusan dengan pengadaan obat-obatan berplat merah mengalami kerugian Rp1,8 triliun. Kita semua mengetahui bahwa perusahaan ini menyediakan obat-obatan dan menyalurkannya dari kota sampai desa, dari rumah sakit besar sampai puskesmas pembantu. Ternyata bisa merugi begitu besar, selidik punya selidik ternyata para pengelolanya bermimpi menggarap proyek besar yang uangnya diperoleh dari pinjaman online alias pinjol. Pada hal kita mengetahui bahwa pemerintah punya banyak bank yang mampu memberikan kredit untuk mereka.
Mungkin mereka saat ini sedang mengalami “gangguan mimpi” sehingga menggarap proyek milik pemerintah dengan cara mendapatkan dana dari sumber yang tidak jelas. Pertanyaannya, kemana kepengawasan selama ini berada? Apakah mereka juga ikut “menikmati mimpi” bersama direksi? Apakah negeri ini sudah menjadi negeri pemimpi? karena penjudi dan korupsi sudah seperti makanan sehari-hari. Wallahualam. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!