Gajah Beroda

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat pulang dari salah satu kota kecamatan terujung perbatasan Kabupaten Lampung Utara  menuju Bandarlampung sekitar pukul duapuluh dua malam karena baru selesai menghadiri acara keluarga; kami berdua harus menembus pekatnya malam. Asumsi yang dibangun jika perjalanan malam, maka diharapkan cepat sampai, cepat istirahat karena bisa melaju kecepatan kendaraaan dengan maksimal. Adrinalin kami walau sudah tidak muda lagi masih cukup kuat untuk berpetualang, dan kali ini driver diambil alih oleh Kepala Polisi Dapur, karena penulis kurang enak badan maka bertugas menjadi navigator; walaupun sering diomelin oleh driver karena tidak sesuai dengan seleranya; tetapi tetap asyik-asyik saja.

Ternyata impian dan perhitungan untuk berjalan malam itu tidak tepat, karena ada variable lain yang tidak pernah dibayangkan dan tidak masuk dalam input prediksi; yaitu arak-arakan panjang truk besar pengangkut Baru Bara. Kendaraan besar ini menyerupai Gajah berjalan beriringan. Anehnya mereka tidak beriringan dua atau tiga; paling tidak mereka empat kendaraan, dan berjalan sangat lambat posisi di jalur yang dengan jarak satu kendaraan dengan kendaraan lainnya berdempetan, sehingga tidak ada celah untuk masuk jika kita memotong dan mendadak harus ambil jalur mereka. Tentu saja keadaan ini sangat menyulitkan bagi kendaraan lain yang harus mendahului karena sesuatu dan lain hal. Akibatnya kendaraan lain harus mengalah dibelakang mereka yang panjangnya bisa mencapai berpuluh kendaraan.

Belum lagi berbicara tekanan gandar kendaraan yang begitu berat menekan jalan; bisa dibayangkan jika mereka rata-rata memuat lima belas sampai dua puluh ton, dengan waktu putar lambat, berarti tekanan kepada jalan sangat besar, jadi tidak heran jika jalan raya Lintas Sumatera itu menjadi sangat boros memakan anggaran biaya perawatan, belum lagi ditambah kebocoran anggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu; menjadi sempurnalah ekonomi biaya tinggi pada jalur ini.

Pemilik batu bara ternyata adalah warga provinsi sebelah, truk yang membawa menggunakan bahan bakar subsidi untuk rakyat dan dibeli disepanjang jalur Jalan Trans Sumatera wilayah ini. Berarti ongkos mereka murah dari bahan bakar yang mestinya bukan untuk mereka, sayangnya justru ketidakadilan ini dinikmati oknum tertentu dengan mengatasnamakan keamanan dan pengawalan untuk melestarikan dan mensukseskan penyelewengan; diujung sana rakyat yang harus menderita. Manakala mereka teriak dan berunjuk rasa, maka biasanya ada utusan guna meredakan dengan memberi sedikit uang dan juga dengan menakutnakuti. Ujungnya semua diam karena diberi percikan cuan, sementara kerusakan terserah negara. Betapa masif dan tersetrukturnya penyelewengan akan pengelolaan hasil tambang ini. Warna yang hitam membara ternyata adalah emas hitam yang menggiurkan dari rakyat sampai pejabat.

Tentu jalan pikiran di atas akan dipatahkan dengan argumentasi, jika ingin nyaman pakailah jalan TOL, pertanyaan lanjut apakah tempat-tempat yang tidak dilalui TOL harus tetap menderita dan sengsara karena keserakahan. Tampaknya semua ini membenarkan tataregulasi pertambangan di negeri ini perlu pembenahan besar-besaran dari hulu sampai hilir. Pertanyaannya kapan..?. jawabannya sangat simple yaitu …Kapan-Kapan… .

Tak terbayangkan menderitanya rakyat sepanjang jalan yang dilalui “gajah beroda” ini, di samping menghambat lalu lintas, juga menebarkan polusi akibat pembakaran bahan bakar yang sering tidak sempurna, apalagi jika ada sedikit tanjakkan. Belum lagi suara bising yang bersumber dari deruan mesin-mesin diesel kendaraan pengangkut ini pada saat malam hari. Namun yang namanya rakyat ya harus terima semua ini karena jika bersuara atau protes, tidak lama akan didatangi oleh oknum yang mengaku “keamanan” dari para juragan batu bara, tentu dengan ancaman, dan sedikit uang tutup mulut.

Sepertinya tampak luar pengelolaan Batu Bara itu negara dalam negara, dan mereka hanya melihat uang dan uang, tanpa memahami resiko untuk orang lain. Keadaan serupa ini menjadi semakin parah karena ulah oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dari rakyat sampai pejabat. Lalu apa saja sebenarnya yang dibebankan kepada Pengusaha Batu Bara di negeri ini; berdasarkan penelusuran digital ada sejumlah kuwajiban yang dibebankan kepada mereka yaitu: Pajak Penghasilan (PPh) Badan: Pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan tambang. Tarif PPh Badan adalah 22% (per 2021).

Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak. Tarif PPN adalah 11%. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan. Iuran Tetap: Merupakan iuran yang wajib dibayar setiap tahun berdasarkan luas wilayah izin usaha pertambangan (IUP). Iuran Produksi (Royalti): Iuran yang wajib dibayar berdasarkan jumlah produksi batu bara. Besarannya ditentukan oleh pemerintah dan biasanya dihitung berdasarkan persentase dari harga jual batu bara. Pajak Dividen: Jika perusahaan tambang membagikan dividen kepada pemegang saham, pajak atas dividen juga harus dibayarkan.

Selain pajak-pajak tersebut, perusahaan tambang juga harus mematuhi regulasi dan membayar retribusi lain yang mungkin berlaku sesuai dengan peraturan pemerintah daerah setempat. Pajak dan retribusi ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mendapatkan penerimaan negara dari sektor pertambangan dan untuk memastikan bahwa kegiatan pertambangan dilakukan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Bisa jadi tataaturan yang beginilah membuat para pengusaha batu bara menggunakan jurus “dewa mabok” dalam mencari keuntungan, sehingga apapun dilakukan jika itu menguntungkan. Termasuk mengabaikan keselamatan orang lain, dan hancurnya jalan raya; karena mereka merasa sudah dibebani oleh sekian banyak kuwajiban untuk negeri. Pantas saja jika ada pejabat daerah yang ingin menataulang regulasi transportasi batu bara di daerah ini selalu macet ditengah jalan, karena tataaturan yang ada tidak berlaku seimbang antara negara dengan pengelola. Akibatnya kebijakan apapun yang ditempuh akan berjalan setengah hati. Salam waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply