Lebih Gilo dari Wong Gilo
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang di penghulu hari itu sudah menjadi kebiasaan untuk memuliakan hari penuh berkah ini. Ada sejumlah ritual keagamaan yang sunah untuk dilakukan, diantaranya melakukan ritual mandi jumat. Namun entah mengapa hari itu agak sedikit malas untuk beranjak dari kursi “pelamunan” tempat mencari inspirasi; mendadak dawai media sosial berbunyi pertanda ada pesan masuk, ternyata benar berita dari yunior sesama Sumatera Selatan mengirimkan berita dengan aksen Plembang. Sayang pesan itu tidak untuk dipublikasikan, karena kami berdiskusi tentang negeri yang sedang tidak baik-baik ini lewat media dan ditutup dengan kata kunci seperti judul di atas.
Sebelum lebih jauh membahas kata kunci “gilo”; sebaiknya kita beri batasan terlebih dahulu; berdasarkan penelusuran digital istilah ini dalam bahasa Palembang memiliki makna yang agak sedikit berbeda dengan “gila” dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Palembang, kata “gilo” bisa berarti “aneh” atau “konyol.” Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap tidak biasa atau lucu dengan cara yang sedikit berlebihan. Misalnya, jika seseorang melakukan tindakan yang aneh atau membuat orang lain tertawa karena kelucuannya, orang tersebut bisa disebut “gilo.” Kata ini juga bisa digunakan dalam konteks bercanda antara teman-teman.
Filosofi kata “gilo” dalam bahasa Palembang mencerminkan pandangan masyarakat terhadap perilaku yang dianggap diluar kebiasaan atau norma. Dalam penggunaannya, kata ini sering mengandung unsur keheranan dan humor, serta menggambarkan reaksi spontan terhadap sesuatu yang dianggap tidak biasa atau absurd.
Secara budaya, penggunaan kata “gilo” dapat menunjukkan toleransi dan penerimaan terhadap keunikan individu. Dalam konteks sosial, menyebut seseorang “gilo” bukanlah sebuah penghinaan, melainkan lebih kepada pengakuan atas perilaku yang lucu atau aneh dengan nada yang ringan dan tanpa maksud merendahkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “gilo” sering digunakan untuk meredakan ketegangan atau sebagai bagian dari interaksi sosial yang hangat. Ini mencerminkan cara masyarakat Palembang menggunakan humor dan keceriaan sebagai alat untuk mempererat hubungan sosial dan mengatasi situasi yang mungkin menimbulkan kebingungan atau ketidaknyamanan.
Meskipun dalam banyak konteks kata “gilo” dalam bahasa Palembang digunakan dengan nada bercanda dan humor, kata ini juga bisa memiliki konotasi negatif tergantung pada cara dan konteks penggunaannya.
Dalam konteks yang lebih serius atau marah, “gilo” bisa digunakan untuk mengejek atau mengkritik seseorang yang dianggap berperilaku tidak masuk akal, tidak pantas, atau terlalu berlebihan. Ketika diucapkan dengan intonasi yang tajam atau dalam situasi yang tegang, kata ini bisa menunjukkan ketidaksetujuan atau rasa tidak hormat terhadap perilaku seseorang.
Misalnya, jika seseorang bertindak dengan cara yang dianggap mengganggu atau merugikan orang lain, kata “gilo” bisa diucapkan dengan nada yang menunjukkan ketidakpuasan atau rasa jengkel. Dalam situasi seperti ini, kata tersebut bisa dianggap sebagai sindiran atau bahkan hinaan.
Secara keseluruhan, meskipun “gilo” sering kali digunakan dalam konteks yang ringan dan humoris, konteks, intonasi, dan situasi bisa mengubah maknanya menjadi sesuatu yang lebih negatif atau kritis. Karena diksi “gilo” berada pada wilayah ontologi, maka akan berubah “rasa bahasa” nya jika masuk ke wilayah epistemologi dan aksiologi.
Sebagai contoh jika kata ini masuk dalam ranah kekuasaan, maka kata “gilo” seringkali dipakai untuk menyoroti sesuatu yang dianggap luar biasa atau tidak biasa dari seorang pemimpin atau orang yang berkuasa. Baik itu dalam bentuk kekaguman, keheranan, maupun kritik, tergantung pada bagaimana orang tersebut memandang tindakan atau otoritas yang dimaksud.
Sebagai contoh orang Palembang jika melihat orang yang sangat bernafsu ingin memangku banyak jabatan, maka pada umumnya mereka akan megatakannya dengan “gilo jabatan”. Dalam konteks bahasa Palembang, “arti gilo jabatan” merujuk pada seseorang yang sangat berambisi atau terobsesi dengan jabatan, sehingga ingin berada pada banyak posisi. Istilah ini sering digunakan secara negatif untuk menggambarkan individu yang sangat menginginkan kekuasaan atau status hingga mereka rela melakukan apa saja untuk mencapainya. Maknawi yang terkandung disini berarti “gila” atau “sangat terobsesi,” sehingga “gilo jabatan” bisa diartikan sebagai “gila jabatan.”
Namun demikian jangan terkejut jika kita berada di tengah-tengah “wong Plembang” mendengar perkataan “gilo” dalam percakapan mereka yang diucapkan sambil tertawa terbahak-bahak; karena bisa jadi itu kegirangan yang amat sangat, bisa juga mengumpat dengan cara satir terhadap sesuatu yang diluar kebiasaan, atau memang sedang terperanjat (bahasa Palembang: tekanjat), melihat keanehan dari sesuatu.
Ternyata ketakjuban akan sesuatu bisa juga diberi label “gilo” oleh orang Palembang yang terkenal humoris; sebagai bukti tidak ada “wong Plembang” yang tidak punya pekerjaan atau menganggur, karena setiap ditanya mau pergi kemana jawabannya “ado gawe”. Akan tetapi bisa juga karena ketidaksukaan terhadap perilaku orang lain yang menurut mereka menyimpang dari norma umumnya, maka mereka akan berucap “lebih gilo dari wong gilo”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman