Menguliti Anatomi Joget Gemoy Pemimpin
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu, saya menghadiri undangan kerabat yang melangsungkan pernikahan putra sulungnya di suatu daerah. Saat itu, saya mendapat tugas harus mewakili keluarga besar untuk memberikan sambutan atas nama keluarga.
Sebagai orang timur, saya tampil harus memenuhi kriteria kesopanan terlebih dahulu ijin dengan para tetua keluarga, mamak, minan, dan lainnya. Semua masih normal dan terukur sesuai pakem yang diperintahkan pembawa acara.
Setelah selesai acara formal kemudian diikuti acara foto bersama keluarga, pembawa acara beralih ke hiburan. Di sini, panggung menjadi ajang adu goyang bersama anak-anak muda milenial dengan goyang ataun “tari gemoy”.
Istilah gemoy yang popular pada saat kampanye presiden lalu bersumber dari istilah yang mengacu pada tarian atau gerakan yang imut dan menggemaskan. Dalam konteks ini, joged berarti menari dan “gemoy” menggambarkan tarian yang terlihat lucu, manis, atau menghibur.
Biasanya, joged gemoy melibatkan gerakan tarian yang ceria, lincah, dan sering kali diiringi dengan ekspresi wajah yang menggemaskan. Fenomena ini sering terlihat di platform media sosial seperti TikTok atau Instagram.
Hasil penelusuran digital dalam kontek peristilahan, istilah “gemoy” tidak memiliki makna formal atau teknis karena merupakan bagian dari bahasa slang yang cenderung bersifat budaya populer.
Namun, jika menafsirkan “gemoy” dalam perspektif filsafat, kita bisa melihatnya dari beberapa sudut pandang yang berkaitan dengan estetika atau etika.
Dari sudut estetika dan keindahan. “gemoy” bisa dikaitkan dengan konsep estetika, yaitu perasaan terhadap sesuatu yang dianggap menggemaskan atau menarik.
Dalam filsafat, konsep keindahan sering kali dikaji dan “gemoy” mungkin bisa dianggap sebagai subkategori dari keindahan yang lebih khusus, yakni keindahan yang menimbulkan rasa gemas atau kasih sayang.
Hal ini bisa didekati melalui teori-teori estetika yang menekankan pengalaman subjektif individu terhadap sesuatu yang dianggap “cantik” atau “manis.”
Dari sudut pengalaman subjektif: Dalam pandangan fenomenologi (misalnya oleh Edmund Husserl), “gemoy” bisa dilihat sebagai salah satu pengalaman subjektif di mana seseorang merasakan sesuatu yang menggerakkan emosinya secara unik.
Pengalaman “gemoy” bisa mencakup rasa senang, hiburan, atau daya tarik emosional yang kuat terhadap sesuatu yang dianggap imut atau lucu.
Dari segi etika dan perasaan: Jika ditinjau dari sudut pandang etika, rasa gemas yang terkait dengan “gemoy” bisa melibatkan hubungan manusia dengan objek-objek yang dianggap tidak berbahaya, bahkan cenderung menyenangkan.
Bisa jadi, pengalaman ini memunculkan pertanyaan filosofis tentang apa yang membuat kita tertarik pada hal-hal yang tampak tidak sempurna, tetapi tetap menimbulkan rasa kasih atau simpati.
Jadi, meskipun “gemoy” bukan istilah yang berasal dari tradisi filsafat formal, dalam konteks filsafat, kita bisa memahami “gemoy” sebagai bagian dari pengalaman estetika dan emosional manusia yang mencerminkan cara kita merespons keindahan dalam bentuk yang lucu atau menggemaskan.
Tinggal dari sudut pandang mana kita memandang “kegemoyan” itu. Sebab bisa jadi kegemoyan itu menjadi tidak menarik lagi jika dilakukan oleh pemimpin formal tertinggi di suatu wilayah, baik dalam arti teritori ataupun dalam imaginatif.
Hal ini karena seorang pemimpin merupakan lambang atau simbol supremasi dari kekuasaan formal yang harus mampu menjadikan dirinya “mahkota” dari masyarakatnya.
Oleh karena itu dapat dipahami jika ada sebagian masyarakat yang tidak menyukai pemimpin tertingginya ikut “bergemoy-ria” di atas panggung, meskipun itu bersama keluarganya.
Apalagi jika gerakan-gerakan yang ditampilkan tidak mencerminkan perilaku pemimpin formal, dan cenderung tampak “merendahkan” dirinya.
Namun kita juga harus menganut pendapat yang berbeda, karena bisa jadi memposisikan kegemoyan ada pada ranah “sukacita”. Jika sudut pandang ini yang dipakai, maka kita harus menghormati hak individu untuk mengekspresikan kegembiraannya.
Ukuran perilaku pemimpin dalam ranah estetika dapat dilihat dari bagaimana seorang pemimpin mengatur, memerankan, dan mempengaruhi lingkungan atau budaya estetika dalam organisasi atau kelompok yang dipimpinnya.
Berikut adalah beberapa dimensi yang bisa menjadi ukuran:
1. Kepekaan Estetika
Pemimpin yang memiliki sensitifitas estetika akan mampu menghargai keindahan, harmoni, dan nilai-nilai artistik dalam bentuk visual, audio, atau bahkan dalam interaksi sosial.
Ukuran ini dilihat dari bagaimana pemimpin memperhatikan detail estetika dalam hal seperti: desain ruang kerja, cara berpakaian atau berpenampilan, penggunaan bahasa yang estetis dalam komunikasi. Bagaimana ia menata lingkungan kerja untuk menciptakan suasana yang mendukung kreativitas dan produktivitas.
2. Penciptaan Lingkungan Estetis
Pemimpin yang estetika akan berusaha menciptakan lingkungan yang nyaman, indah, dan sesuai dengan tujuan organisasi. Hal ini dapat melibatkan: Pengaturan tata ruang kantor agar lebih harmonis dan fungsional, mendorong penghargaan terhadap karya seni atau budaya menjaga kualitas visual dan representasi identitas organisasi melalui desain logo, warna, dan presentasi umum.
3. Penghargaan terhadap Keindahan dalam Pengambilan Keputusan
Dalam beberapa kasus, pemimpin estetika juga memperhitungkan aspek keindahan dalam pengambilan keputusan. Hal ini bisa mencakup: Bagaimana keputusan mereka mencerminkan etika, keindahan moral, atau keharmonisan sosial. Pembuatan kebijakan yang mencerminkan keseimbangan dan keselarasan dalam hubungan antar anggota organisasi.
4. Ekspresi Diri yang Berimbang
Pemimpin dengan perilaku estetis juga cenderung menjaga ekspresi dirinya agar sesuai dengan norma sosial dan estetika yang diharapkan. Misalnya, pemimpin yang selalu berbicara dengan nada yang sopan, memiliki sikap tubuh yang anggun, dan menampilkan emosi yang seimbang dalam setiap situasi.
5. Pengaruh Estetis pada Budaya Organisasi
Pemimpin estetika tidak hanya mempengaruhi lingkungan fisik, tetapi juga bagaimana budaya organisasi terbentuk. Hal ini bisa dilihat dari: Cara pemimpin memperkenalkan nilai-nilai keindahan dalam tim, seperti kerja sama yang harmonis atau cara mengapresiasi keberhasilan melalui perayaan yang kreatif. Mendorong karyawan untuk mengekspresikan kreativitas mereka dalam pekerjaan.
Secara keseluruhan, perilaku pemimpin dalam ranah estetika diukur dari seberapa baik mereka dapat menciptakan, menghargai, dan memelihara keindahan dan harmoni, baik dalam lingkungan fisik maupun sosial, yang pada pasangannya dapat meningkatkan semangat kerja, produktivitas, dan kesejahteraan dalam organisasi.
Oleh karena itu tingkat manapun seorang pemimpin, apalagi jika itu mencakup kewilayahan atau daerah; seorang pemimpin segembira apapun tidak bisa seenaknya jingkrak-jingkrak.
Sebaliknya sesedih apapun perasaau njir ini nnnya tidak lalu dengan leluasa menangis sedusedan di muka khalayak bagai anak kecil meminta permen pada ibunya.
Apalagi jika status dirinya baru Bakal Calon; maka apapun perilakunya akan mendapatkan penilaian bagi calon pemilihnya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman