Es Koplak
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada suatu peristiwa negara Hastinapura sedang melakukan Pasewakan Agung di alun-alun utara ibu kota negara. Seluruh Pangeran Pati dengan membawa para pengikutnya tampak hadir; termasuk diantaranya Haryo Dursasana dari Kasatrian Banjarjunut yang memiliki kebiasaan mulutnya sering “ndower” alias tidak pernah mau berhenti bicara dan tertawa. Saat Pasewakan itu sedang bicara Patih Haryo Sengkuni, sebagai orang nomor dua di Hastinapura sekaligus pemimpin pada pertemuan .
“Wahaiiii para kurawa kemenakanku semua, mohon diperhatikan instruksi dari Sinuwun Duryudhana raja kita,” demikian suara Sang Patih dengan nada agak cemeng sebagai khasnya, tetapi tetap berwibawa.
Dursasana nyletuk “Perintah apa lagi Paman, karena perintah bulan lalu saja belum dievaluasi sekarang sudah perintah lagi, memang enak tinggal perintah saja, yang mengerjakan ini tidak dipikirkan capeknya,”.
Sengkuni agak tersinggung mendengar celetukan keponaannya yang satu ini dan berkata “Dur, kamu kan ketua rombongan adik-adikmu, kenapa tidak memberikan keteladanan yang baik. Dengarkan dulu perintah apa ini, jangan asal mangap mulutmu. Kalau tidak suka saya tinggal lapor ke Raja”.
Dursasana langsung berdiri sikap sempurna dan mulut besarnya bicara “Siapppp paman patih, laksanakan”.
Belum selesai bicara, agak jauh dari Dursasana berdiri ada Penjual Es Teh sedang menawarkan dagangannya dengan suara agak keras. Sontak Dursasana tersinggung dan beliau langsung memanggil si Penjual Es.“ Heeeeeee….penjual es…sini kamu..dasar koplak…..”.
Sambil terbata-bata dan mendekat, Tukang Es yang merasa bersalah itu menjawab “Saya juragan..mohon maaf..saya salah juragan”.
Dursasana berkata dan tertawa sambil tolak pinggang “Sudah laku belum es mu”.
“Belum juragan” jawab Penjual Es dengan gemetar karena ketakutan.
Dursasana tambah dongkol hatinya dan berteriak “Saya gak akan beli..cuman tanya…goblok…..ya jual saja sana biar ada yang beli, tapi jauh-jauh sana dari saya yaaaaaa,” sambil tertawa terbahak bahak sesuai ciri khasnya yang kurang sopan itu.
Ucapan Dursasana didengar oleh orang sealun-alun karena memang sudah keras suaranya ditambah lagi penggunaan sound system yang canggih, maka makin keras. Pilu hati Tukang Penjual Es, sambil undur diri beliau mengusap air mata dan terbayang bagaimana susahnya jadi rakyat jelata.
Namun, tidak jauh dari sana ada Raden Adipati Karna, Raja Awangga, yang memperhatikan acara itu, dan beliau juga menyimak kegacolannya Dursasana yang kurang beradab itu. Beliau mengutus salah seorang pengikutnya untuk memanggil Tukang Es malang tadi.
Setelah mendekat, Sang Adipati mendekatkan mulutnya ketelinga Si penjual Es seraya berbisik “Paman jualan es-mu saya borong semua, kasihkan kepada siapa yang mau minum, bilang kalau es-nya gratis karena sudah ada yang bayar, jangan sebut nama saya ya,”.
Tukang Es tadi menjawab “Sendiko Ndoro, semoga ini menjadikan keberkahan hidup paduka”.
Tukas Adipati Karna “Sudah sana jauh-jauh, tidak enak dipandang para kawula dan Nayakapraja yang hadir, ingat pesanku jangan bicara jika ada yang bertanya siapa yang memborong es-mu”.
Setelah selesai acara Pasewakan Agung tadi, kelakuan Dursasana menjadi bahan perbincangan yang hadir, tidak terkecuali para adik-adiknya termasuk Citraksi, Durmogati, Kartomarmo dan lainnya. Dan, beberapa hari kemudian sampailah berita itu ke telinga Raja Duryudhana. Beliau sangat masgul mendengar kelakuan adiknya; beliau kemudian memanggil Dursasana untuk klarifikasi. “Adikku Dursasana apakah benar berita yang beredar itu”.
Dengan sangat takzim Dursasana menjawab “Benar Kanda, dan saya mohon maaf atas peristiwa itu, karena saya emosi saat itu berhubung gaji bulan ini belum saya terima, sementara tagihan kredit saya sudah jatuh tempo”.
Duryudhana melanjutkan bicaranya “Dursasana, saya tahu bahwa uang bukan segalanya, tetapi segalanya perlu uang. Namun kekoplakan kelakuanmu itu memalukan orang satu negara ini. Jangan kau ulangi lagi kelakuan rendahmu itu, karena dirimu itu adalah Pangeran Pati yang diangkat Raja untuk mengamankan kebijakkan Raja. Jangan kalau sudah di atas panggung, kamu lupa diri siapa dirimu sebenarnya. Ingat Dursasana, kita di atas panggung itu baru berarti jika ada yang di bawah panggung. Coba bayangkan jika di atas panggung itu hanya kamu sendiri dan yang di bawah tidak ada orang, lalu kamu teriak-teriak sendiri. Saya yakin orang akan berkata, walaupun dalam hati, Dursasana sudah gila”. Sambil menahan amarah sang Raja melanjutkan bicaranya, walaupun halus suara.menyampaikannya, tetapi jika orang yang waras mendengarnya akan terasa sakit telinganya.
Demikian ucapnya “Kelakuan rendahan seperti itu tidak cocok dipelihara Dur, apalagi dirimu adalah satria dan Pangeran Pati, apakah dirimu merasa sebagai tokoh agama yang bisa seenak jidat mengupat. Justru jika dirimu merasa sebagai tokoh dan panutan sudah seharusnya ucapanmu dijaga, sekalipun itu senda-gurau. Jangan merendahkan orang di muka umum siapapun dan apapun profesinya, karena itu sangat menyakitkan dan tidak bisa dihapus dengan kata maaf mu.. Paham”. Dursasana tertunduk lesu, malu dan entah apalagi.
Memang kelakuan Dursasana dalam pewayangan seperti itu, bahkan ada sebagian para Dalang Wayang Purwa menyebut Dursasana banyak dibuat dengan berbagai model, salah satunya model Gacul. Akan tetapi uniknya tidak semua Dalang bisa menghidupkan suasana kebatinan kegaculan Dursasana.
Hal ini disebabkan sebelum memperankan Dursasana, sang Dalang sudah antipati terlebih dahulu pada tokoh Dursasana. Oleh sebab itu kita tidak boleh menghakimi kelakuan orang lain, apalagi mentertawakannya. Sebab, kalau Wayang satu peti itu isinya sama, maka itu bukan disebut wayang. Demikian halnya jika satu dunia ini isinya sama, maka dunia ini tidak layak disebut dunia.
Demikian juga dengan si Penjual Es dalam cerita carangan di atas. Profesi ini tetap diperlukan dan dimulyakan, bagaimana tidak jika tidak ada penjual es keliling mungkin banyak orang kehausan ditengah berhimpitnya orang, untuk keluar barisan tidak mungkin karena disamping tidak bisa keluar, juga tatatertibnya demikian. Oleh sebab itu mari kita melakonkan peran kita masing-masing didunia ini sebaik dan seihlas mungkin, sebab apapun ceritanya semua sudah ditulis sebelum kita lahir. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman