Kewenangan yang Sewenang-Wenang
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kewenangan adalah amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan keadilan. Ketika dijalankan secara sewenang-wenang, hal itu tidak hanya menghancurkan individu atau kelompok yang terdampak, tetapi juga merusak nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial yang lebih luas; demikian sekelumit refleksi yang dikutip dari referensi digital. Kewenangan, secara filosofis, merujuk pada hak atau kuasa yang dimiliki seseorang atau lembaga untuk mengambil keputusan dan bertindak dalam suatu konteks tertentu. Makna kewenangan memiliki dimensi yang mendalam, tergantung pada perspektif etika, politik, sosial, dan spiritual, yang dijadikan sudut pandang dalam membahasnya.
Dengan kata lain, kewenangan adalah lebih dari sekadar kuasa untuk bertindak; ia adalah manifestasi dari tanggung jawab, legitimasi, dan kebijaksanaan. Penggunaan kewenangan yang benar menciptakan keadilan dan harmoni, sedangkan penyalahgunaannya membawa ketidakadilan dan konflik. Oleh karena itu, kewenangan selalu terikat pada nilai-nilai moral dan etis yang lebih besar.
Sementara itu hakekat sewenang-wenang dalam filsafat menunjukkan penyalahgunaan kebebasan atau kekuasaan yang tidak diimbangi oleh moralitas, rasionalitas, atau aturan yang adil. Kajian ini mengingatkan manusia akan pentingnya batasan dalam tindakan dan kehendak, sehingga tercipta tatanan yang berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan bersama. Dalam perspektif filsafat, konsep ini sering dikaji dalam konteks etika, politik, dan metafisika. Berikut adalah beberapa penjelasan terkait hakekat sewenang-wenang yang bersumber dari berbagai referensi digital:
Pertama, Etika dan Moralitas. Dalam etika, sewenang-wenang sering dikaitkan dengan tindakan yang tidak didasarkan pada prinsip moral atau keadilan. Misalnya, Immanuel Kant menekankan bahwa tindakan manusia harus didasarkan pada prinsip universal yang bisa diterima oleh semua orang (categorical imperative). Sebaliknya, tindakan yang sewenang-wenang bertentangan dengan prinsip ini karena didorong oleh kehendak pribadi atau egoisme tanpa mempertimbangkan dampaknya pada orang lain.
Kedua, Kekuasaan dan Politik. Dalam kajian filsafat politik, sewenang-wenang kerap disoroti sebagai ciri dari pemerintahan tirani. Filsuf seperti John Locke dan Montesquieu memperingatkan bahaya kekuasaan absolut tanpa kontrol hukum atau mekanisme pengawasan, yang memungkinkan penguasa bertindak sesuai kehendaknya tanpa mempertimbangkan keadilan atau kebaikan bersama. Locke menyebut bahwa kekuasaan harus didasarkan pada hukum alam dan kontrak sosial, bukan kehendak individual semata. Montesquieu mengusulkan pembagian kekuasaan untuk mencegah tindakan arbitrary.
Ketiga, Kebebasan dan Tanggung Jawab. Jean-Paul Sartre dalam eksistensialisme menekankan kebebasan manusia sebagai hakikat eksistensi, tetapi kebebasan ini harus diiringi dengan tanggung jawab. Kebebasan yang digunakan secara sewenang-wenang akan menimbulkan kekacauan dan hilangnya otentisitas dalam kehidupan manusia.
Keempat, Metafisika Kehendak. Dalam pandangan metafisik, Friedrich Nietzsche misalnya, mendefinisikan kehendak sebagai pendorong utama manusia (will to power). Namun, jika kehendak ini dijalankan tanpa moralitas atau nilai yang lebih tinggi, ia dapat menjadi bentuk sewenang-wenang yang bersifat destruktif.
Implikasi pada Kehidupan Sosial; Tindakan sewenang-wenang menimbulkan ketidakadilan, konflik, dan kerusakan harmoni sosial. Oleh sebab itu, banyak filsuf menekankan pentingnya rasionalitas, hukum, dan dialog dalam menghindari perilaku semacam ini. Pertanyaannya sekarang bagaimana potret kehidupan nyata di negeri ini.
Bisa dibayangkan jika kewenangan tanpa diberi solusi, maka yang terjadilah kesewenang-wenangan itu yang dikhawatirkan oleh semua aliran filsaffat di atas. Sebagai contoh, Tempat Pembuangan Sampah Akhir langsung ditutup sebagai kewenangan pusat, tetapi tidak ada penawaran solusi bersama melalui mekanisme duduk bersama guna kesejahteraan rakyat bersama. Kesewenang-wenangan ini dipertontonkan dimuka rakyat yang pernah dulu diminta bahkan sampai mengemis untuk supaya memilih saat pemilihan. Sementara membuang sampah untuk daerah perkotaan adalah urusan yang tidak mudah, kalau tidak dikatakan sulit, bahkan dapat dikategorikan fital. Belum lagi persoalan hukum, mereka yang diduga belum ada bukti-pun bisa ditersangkakan hanya karena memiliki kewenangan.
Dapat ditarik kesimpulan sementara dari sudut pandang aliran filsafat manapun, kewenangan yang dijalankan dengan ke-sewenang-wenang-an itu akan menjadikan tirani. Korbannya adalah rakyat kebanyakan yang tidak mempunyai kewenangan sedikitpun untuk menolak kesewenang-wenangan tadi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman