Kekuasaan yang Menguasai
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu ada seorang sohib mengomentari tulisan yang terbit di salah satu media dengan sangat filosofis dan mendasar. Menurutnya, sekarang telah terjadi pergeseran maknawi tentang kekuasaan. Kekuasaan yang semula secara ontologis bermakna amanah yang diemban untuk menyejahterakan yang memberi kuasa melalui proses penghimpunan dukungan berupa pemilihan, sekarang berubah bahwa kekuasaan yang diperoleh itu adalah “milik pribadi”. Karena milik pribadi, mau digunakan untuk apa, dengan cara apa, suka-suka yang berkuasa.
Komentar seperti itu sangat menohok, karena hanya mereka yang terus berfikir kritis methodologis yang mampu menganalisis pergeseran seperti itu.
Memang, kekuasaan tidak hanya bersifat fisik atau koersif. Kekuasaan juga ideologis, spiritual, dan struktural. Kekuasaan yang “menguasai” cenderung melibatkan permainan kompleks antara kendali, pengaruh, dan legitimasi. Berkelindannya ketiga hal tadi, itulah seni berkuasa.
Ketika kekuasaan dianggap sebagai milik pribadi, ia sering menimbulkan ketimpangan, korupsi, dan penyalahgunaan. Namun, filsafat kekuasaan modern menekankan pentingnya memandang kekuasaan sebagai tanggung jawab bersama yang bertujuan melayani kepentingan umum, bukan kepentingan individu semata.
Mengapa di negeri ini sering timbul “rasa diri” bahwa kekuasaan itu adalah “milik pribadi”? Ternyata salah satu di antaranya karena peninggalan pemikiran feodal. Kekuasaan dalam perspektif tradisional masih begitu melekat pada sebagian otak pejabat, sehingga berwujud dalam bentuk sistem monarki tradisional bentuk baru, dan oleh karenanya kekuasaan dianggap sebagai hak pribadi pemimpin atau penguasa. Kekuasaan diwariskan melalui garis keturunan, dan penguasa dianggap memiliki hak ilahi (divine right of kings).
Seiring itu juga muncul kekuasaan pribadi dalam wujud neo-feodalisme: Dalam feodalisme, kekuasaan pribadi ditentukan oleh hubungan hierarkis antara tuan tanah dan bawahannya. Kekuasaan atas wilayah dan rakyat menjadi “milik pribadi” tuan tanah. Sedangkan dalam neo-feodalisme kekuasaan pribadi akan sumber ekonomi rakyat menjadi kekuatan besar untuk “berbuat apa saja” agar syahwat untuk terus berkuasa terpenuhi.
Kekuasaan lahan berganti akan penguasaan pasar dan sumber produksi; sempurnalah jadinya harga ditentukan oleh pribadi yang dimanisfestasikan oleh koorporasinya.
Kekuasaan yang dipersonifikasi sebagai milik pribadi ini dimuluskan jalannya manakala kekuasaan untuk membuat aturanpun dikuasai dengan pola pikir koorporasi. Sehingga hari ini suaminya jadi pemimpin, besok bisa istrinya, dan lusa bisa jadi anaknya. Secara perundangan tidak ada yang dilanggar, hanya kepatutan saja seolah kurang tepat. Namun kepatutan sendiri adalah produk budaya, manakala budayanya sudah direkayasa agar sesuatu yang semula tidak patut, bisa saja diubah menjadi “patut”; maka semua akan tampak “mulus” tanpa cacat; maka sempurnalah kekuasaan yang menguasai sehingga bisa menjadikan kekuasaan adalah sama dan sebangun dengan milik pribadi.
Tampaknya kesalahan silogisme di atas saat ini sedang berlangsung dinegeri yang kita cintai ini. Sehingga analogi yang dikemukakan oleh sahabat pemberi ide ini yang mengatakan banyak diantara kita salah memaknai saat Syaidina Umar sedih melihat rakyatnya ada yang merebus batu agar anak-anaknya bisa melupakan kemiskinan dan tertidur; menjadi “biarkan mereka merebus batu sampai kapan pun yang penting saya bisa tidur”. Kalau syaidina Umar mendatangi sendiri rakyatnya tanpa pengawalan sehingga tidak perlu biaya; sementara sekarang jika pemimpinnya datang, lebih besar ongkos dia datang dibandingkan dengan yang dia sumbangkan.
Kehadiran pemerintah dimaknai berbeda dengan konsep dasarnya; namun karena itu menjadi semacam kelaziman, maka tampaknya semakin sempurna kesalahan silogisme dibangun. Bisa dibayangkan kehadiran pemimpin yang dirancang, ternyata settingannya harus memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Semua ini mengakibatkan “pemerintahan biaya tinggi” yang ujungnya hanya membangun pencitraan semata. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman