Potong Bebek Angsa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hampir semua anak-anak Indonesia masa lalu mengenal lagu ini. Tidak ada catatan siapa yang memulai bernyanyi dan siapa pencipta lagu. Menurut referensi digital pencipta lagu Potong Bebek Angsa tidak diketahui secara pasti. Lagu ini merupakan lagu daerah dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diwariskan secara turun-temurun dalam budaya masyarakat setempat. Seperti banyak lagu daerah lainnya di Indonesia, Potong Bebek Angsa berkembang secara lisan dan tidak memiliki dokumentasi resmi mengenai siapa yang pertama kali menciptakan dan menyanyikannya.

Lagu ini menjadi populer di seluruh Indonesia karena sering dinyanyikan di sekolah-sekolah dan digunakan dalam berbagai acara budaya. Selain itu, iramanya yang ceria dan liriknya yang mudah diingat membuatnya sering digunakan sebagai lagu anak-anak dan lagu pengiring tarian daerah. Lagu Potong Bebek Angsa memiliki pesan utama tentang keceriaan, kebersamaan, dan ajakan untuk menari atau bersuka cita. Meskipun liriknya sederhana dan tidak memiliki makna filosofis yang mendalam, lagu ini menggambarkan suasana riang gembira yang sering muncul dalam budaya masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sikap riang gembira yang merupakan ciri khas masyarakat tempatan dimana lagu ini muncul; adalah gambaran sikap hidup yang terbuka. Pengalaman penulis beberapa tahun lalu datang ke Kupang ibu kota provinsi, dalam acara resmi kegiatan pertemuan pimpinan perguruan tinggi; disambut dengan tari-tarian yang meriah dan lagu inipun dinyanyikan bersama secara gembira.

Kita tinggalkan lagu gembira itu, lalu bagaimana kalau yang dipotong bukan bebek angsa, akan tetapi anggaran dari suatu lembaga (pemerintahan). Tentu suasana kebatinannya akan menjadi lain, karena dampak yang ditimbulkan bukan alangkepalang. Dirumahkannya kontributor TVRI, diputuskannya hubungan kerja antara petugas pertanian di suatu daerah, dirumahkannya sejumlah karyawan RRI, pemerintah daerah berlomba-lomba “merumahkan” pegawai honorer karena ketidakadaan anggaran untuk menggajinya; dan masih banyak lagi kalau kita telisik secara seksama. Sementara alasan yang dipakai di samping efisiensi juga untuk program yang lebih besar yaitu memenuhi “Janji Kampanye” saat maju kegelanggang.

Jika kita mau jujur, ternyata selama ini penganggaran itu tidak melalui kajian cermat atas dasar kebutuhan, akan tetapi atas dasar keinginan. Akibatnya begitu dilakukan “pemangkasan” anggaran, maka yang terjadi kebingungan rancang ulang dari apa yang sudah ditetapkan. Atau bisa jadi karena (dalam bahasa Jawa) “kadung janji” ; maka apapun caranya harus dipenuhi. Tinggal mencari alasan rasional yang akan dipakai jika harus melakukan langkah-langkah tidak populer, termasuk pemotongan dengan berlindung pada efisiensi.

Lebih seru lagi, ada pemerintah daerah tingkat dua yang tidak memiliki neraca APBD yang bagus, akibat dari model pembangunan “ugal-ugalan” sehingga saat pengangkatan pegawai dalam perjanjian kerja, tidak dapat dilakukan karena tidak punya anggaran. Akibatnya banyak tenaga honorer yang berharap ikut program itu harus rela gigit jari dan bekerja tanpa gaji. Tetapi anehnya untuk memberangkatkan “wisata rohani” anggarannya tersedia. Sementara jalan dimana-mana banyak yang rusak, drainase tidak berfungsi sehingga jika ada hujan sedikit saja, banjir dimana-mana. Pemimpin cukup datang sebentar dua jam, kemudian ikut berbasah-basah, selesai itu pulang. Sementara rakyatnya menanti nasib yang tidak pasti, wakil rakyatnya tidur nyenyak menikmati mimpi indah.

Tampaknya dari atas sampai ke bawah pola pembangunan belum terencana secara baik dan menyeluruh. Akibatnya menyejahterakan yang lain dengan cara menyengsarakan lainnya. Bisa dibayangkan anaknya makan bergizi pagi hari, begitu pulang makan siang tiada nasi karena ayah sudah di PHK sejak tadi. Ibu berderai air mata menatap diri, merenungkan nasib sambil berguman “beri kami kekuatan ya Tuhan atas cobaan semua ini”.

Menjadi sempurna lagi pegawai pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, atas nama efisiensi maka bekerja cukup tiga hari saja dalam sepekan; agar ada penghematan listrik, air dan anggaran lainnya. Semua demi program janji manis yang harus dibayar dengan pahit.

Tampaknya pembangunan ini rata di permukaan, namun bergelombang dibawahnya; sehingga jka dilihat dari atas atau dari jauh tampak indah permai; tetapi begitu didekati yang tampak linangan air mata untuk menebusnya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman