Pemberkasan Akhirat
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Setelah usai subuh berjamaah dilanjutkan membaca yang merupakan pekerjaan rutinitas diusia senja, baik kitab maupun buku. Namun subuh itu pikiran terusik dengan salah satu bab buku yang menjelaskan konsep Ibnu Sina dalam memandang kehidupan, terutama masalah pemberkasan akhirat. Kalau kita bicara “pemberkasan akhirat” dalam konteks filsafat Ibnu Sina (Avicenna), kita sebenarnya masuk ke ranah metafisika jiwa, intelek aktif, dan kebahagiaan abadi. Walaupun Ibnu Sina tidak secara eksplisit pakai istilah “pemberkasan akhirat”, ide dasarnya tersirat kuat dalam pemikirannya tentang jiwa, tindakan, dan akhir kehidupan manusia. Sebagai bahan referensi bahwa Ibnu Sina, yang dikenal di dunia Barat sebagai Avicenna, lahir pada bulan Juni 980 M di desa Afshana, dekat Bukhara, yang kini terletak di Uzbekistan. Ia meninggal pada tanggal 22 Juni 1037 M di Hamadan, Persia (sekarang Iran), pada usia 57 tahun akibat penyakit perut. Jika dihitung dari tahun 2025, maka sudah 988 tahun lalu beliau wafat.
Berdasarkan literatur digital dan diramu dalam satu ringkasan, maka diperoleh informasi padat tentang pemberkasan akhirat sebagai berikut:
1. Jiwa adalah Substansi Spiritual yang Abadi
Bagi Ibnu Sina, jiwa manusia (an-nafs) adalah substansi immaterial yang tidak mati. Jiwa berasal dari dunia intelek dan akan kembali ke sana setelah berpisah dari jasad. Jiwa yang sempurna akan “naik” ke alam intelek dan mengalami kebahagiaan abadi (surga), sedangkan jiwa yang penuh dengan keburukan akan terputus dari cahaya intelek dan mengalami kesengsaraan abadi (neraka). Di sinilah muncul konsep “pemberkasan”: apa yang dibawa jiwa setelah kematian adalah hasil dari semua akumulasi amal dan pengetahuan di dunia.
2. Intelek Aktif (al-‘Aql al-Fa‘al) sebagai “Pencatat” Hakiki
Dalam teori intelek Ibnu Sina, ada 10 intelek, dan intelek ke-10 (intelek aktif) adalah yang berinteraksi dengan manusia. Intelek aktif inilah yang: memberi bentuk pada materi, mentransformasikan pengetahuan, mengabadikan amal dan intelek jiwa manusia. Jadi dari sisi ini, “pemberkasan” bisa dipahami sebagai proses penyatuan jiwa dengan intelek aktif berdasarkan kualitas jiwa itu sendiri.
3. Kebajikan sebagai Bekal Kekekalan
Bagi Ibnu Sina, kebahagiaan sejati (as-sa‘adah) adalah kesempurnaan jiwa melalui: pengetahuan tentang Tuhan dan realitas, amal kebajikan dan penyucian diri. Jiwa yang banyak melakukan keburukan akan tidak mampu mengenali kebenaran, dan akibatnya tersiksa oleh jauhnya dari sumber cahaya intelek (Allah). Ini bisa dibaca sebagai filsafat pertanggungjawaban moral dan spiritual, yaitu pemberkasan nilai-nilai dalam jiwa itu sendiri.
Jadi, “pemberkasan akhirat” menurut Ibnu Sina bukan catatan fisik, tapi jejak metafisik dalam struktur jiwa. Amal-amal kita, menurut Ibnu Sina, membentuk kualitas eksistensial jiwa. Amal saleh dan pengetahuan membuat jiwa “tercerahkan” dan siap bersatu dengan intelek aktif — inilah bentuk surga filsafat. Sebaliknya, jiwa yang rusak akan terpisah dan menderita — bentuk neraka metafisik.
Pergulatan Ibnu Sina terhadap filsafat manusia memberikan pemahaman kepada kita bagaimana semua perilaku kita dari tarikan nafas pertama saat kita hidup, sampai hembusan nafat terakhir kita saat kematian; harus dipertanggungjawabkan sedetail-detailnya, tidak ada satupun yang terlewatkan. Pemberkasan akhirat bernama Sijjīn untuk catatan amal orang durhaka, dan Illiyyīn untuk catatan amal orang saleh. Adapun petugas pencatatnya adalah: Raqib – duduk di sebelah kanan, mencatat amal baik, dan Atid – duduk di sebelah kiri, mencatat amal buruk.
Bila kita mau merenung sejenak ternyata kehidupan itu sangat singkat, dan harus bergegas menghimpun bekal berupa amal sholeh, untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Oleh sebab itu Jalludin Rumi berkata bahwa, akhirat adalah kepulangan, bukan sekadar penghakiman. Ia menekankan: Jiwa berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu akhirat adalah perjalanan cinta. Konsekwensinya pemberkasan amal bukan hanya soal hitungan pahala, tetapi pantulan dari sejauh mana seseorang mengenal dan mencintai Tuhan. Pada kutipan lain Rumi mengajarkan bahwa akhirat bukanlah tempat terpisah dari kehidupan dunia, melainkan merupakan kelanjutan dari perjalanan jiwa menuju Tuhan. Melalui cinta, pengetahuan, dan transformasi batin, jiwa dapat mencapai keabadian bersama Tuhan.
Kalau kita mau menyadari sebentar saja tentang hal di atas, rasanya kita tidak mau melewatkan sedikitpun waktu yang kita miliki untuk selalu berbuat amal sholeh. Karena ternyata kita lebih lama tinggal diakhirat dibandingkan di bumi ini; pertanyaan tersisa sudah cukupkah bekal kita untuk tinggal di akhirat kelak ?. jawabannya ada di hati nurani kita masing-masing. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman