Menanam Harap Menuwai
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu menghadiri undangan teman lama sekaligus temu kangen lintas alumni waktu sekolah di progam sarjana beberapa puluh tahun lalu. Pertemuan yang diinisiasi oleh teman lama sudah menjadi tokoh sentral di daerah ini menjadi begitu meriah, sekalipun yang hadir hanya segelintir, tetapi mereka semua tajir. Ini terbukti dengan hambatan usia yang sudah senja tidak menjadi halangan, mereka hadir dengan sukaria, tentu dengan selera tua.
Disela kegiatan itu juga diisi dengan menghadiri dan sekaligus menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional tentang Pendidikan, yang diselenggarakan oleh satu perguruan tinggi milik organisasi terkenal dan papan atas di negeri ini. Organisasi ini akan meningkatan perguruan tinggi yang ada untuk disatukan menjadi satu universitas. Tentu saja semua kita yang hadir lebih dari duaratus orang berharap pertemuan itu membawa rahmat; sehingga univeritas yang menjadi kebanggaan daerah ini segera terwujud.
Dari berbagai sumber digital ditemukan pemahaman bahwa hidup tidak selalu berjalan lurus dan mudah. Jalan yang kita lalui terkadang dihiasi oleh kerikil tajam, tanjakan curam, bahkan badai yang mengguncang hingga membuat langkah tersendat. Di tengah tantangan itu, ada satu hal yang mampu menjadi pijakan bagi jiwa yang lelah: “harapan”. Ia adalah secercah cahaya yang tetap menyala meski gelap menyelimuti. Ia adalah kekuatan yang sering kali tak terlihat, tetapi mampu menggerakkan manusia untuk bangkit dan melangkah lagi.
Immanuel Kant, seorang filsuf besar dari Jerman, pernah berkata, “Hope is the pillar that holds up the world.” — Harapan adalah tiang yang menopang dunia. Bagi Kant, harapan bukan sekadar ilusi atau penghibur diri, melainkan kekuatan moral yang mendorong manusia untuk terus berbuat baik meskipun hasilnya belum tampak. Dalam pengertian inilah harapan menjadi sesuatu yang luhur dan mendalam, bukan pasif, tetapi aktif dan membentuk tindakan nyata.
Menanam harapan berarti percaya bahwa setiap usaha, sekecil apa pun, akan menghasilkan sesuatu yang bermakna. Dalam setiap doa yang terucap, dalam setiap keringat yang mengucur, terselip harapan bahwa suatu saat semua akan berbuah baik. Namun, harapan bukan hanya angan-angan kosong. Ia butuh tanah yang subur berupa niat yang lurus, pupuk berupa usaha yang sungguh-sungguh, dan air berupa kesabaran yang tak kenal lelah. Tanpa semua itu, harapan akan layu bahkan sebelum sempat tumbuh.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf yang dikenal karena pandangan hidupnya yang tajam dan keras, secara sinis menyebut harapan sebagai “the worst of all evils, because it prolongs the torment”. Namun dalam tafsir yang lebih reflektif, kutipan itu justru mengingatkan kita bahwa harapan tidak boleh dipelihara secara buta. Harapan harus diiringi kesadaran dan keberanian untuk menghadapi kenyataan. Dengan begitu, harapan menjadi kekuatan, bukan jebakan.
Sementara itu rahmat tidak selalu datang dalam bentuk materi atau keberhasilan yang gemerlap. Kadang, rahmat hadir dalam bentuk kekuatan untuk bertahan, keberanian untuk memulai lagi, atau kebijaksanaan yang lahir dari luka. Kita mungkin tidak mendapatkan apa yang kita minta, tapi kita diberi apa yang lebih kita butuhkan. Inilah yang oleh Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis Denmark, disebut sebagai “leap of faith”—sebuah lompatan iman yang melibatkan harapan kepada sesuatu yang lebih tinggi, kepada makna yang belum bisa kita pahami sepenuhnya sekarang, tetapi kelak akan terjelaskan.
Dalam kehidupan sosial, harapan juga punya dampak besar. Harapan yang ditanam seorang guru dalam diri murid-muridnya bisa mengubah masa depan mereka. Harapan yang disuarakan oleh seorang pemimpin bisa membangkitkan semangat bangsa. Bahkan harapan kecil yang kita berikan pada teman yang sedang terpuruk bisa menjadi titik balik bagi hidupnya. Oleh karena itu, menanam harapan bukan hanya tindakan individual, tetapi juga wujud kepedulian sosial. Kita tidak hidup sendirian; kebaikan yang kita tanam bisa menjadi cahaya bagi orang lain yang sedang berada dalam gelap, bahkan ketersesatan.
Ada kalanya kita merasa lelah karena harapan yang kita tanam belum juga berbuah. Namun, seperti petani yang sabar menunggu musim panen, kita pun harus percaya bahwa waktu yang datang dari Tuhan selalu tepat. Kita tidak bisa memaksa hasil datang lebih cepat, tapi kita bisa memastikan bahwa kita tidak berhenti menanam. Kita bisa terus menumbuhkan harapan di tengah kesulitan, terus menyiraminya dengan kerja keras, dan terus menjaganya dengan doa dan keikhlasan.
Akhirnya, hidup ini adalah proses panjang menanam harapan dan memanen rahmat. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, tapi suatu saat, segala yang kita tanam dengan niat baik akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lebih baik. Jangan pernah remehkan kekuatan harapan, karena dari situlah lahir keberanian untuk hidup, kekuatan untuk bertahan, dan keikhlasan untuk menerima. Seperti kata Plato, “We must not lose hope in humanity. We are all in this together.” Maka, selama harapan masih hidup dalam hati manusia, rahmat pun akan selalu punya jalan untuk hadir. Tinggal kita sebagai manusia mampukan menjaga hati agar tetap dekat kepada siempunya harapan; karena hanya yang Maha Pemberi-lah paham akan kebutuhan kita dan kapan waktunya harapan itu diwujudkan dalam kenyataan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman