Hidup yang Melelahkan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada saat tugas luar daerah mendapat cerita dari teman bagaimana perasaannya saat mendapatkan berita yang sangat tidak mengenakkan sebagai orang tua. Beliau dengan jujur berkata berita yang paling merisaukan bagi orang yang tidak muda lagi adalah tentang keluarga. Dan, pada umumnya berita yang cepat disampaikan itu adalah berita yang memang tidak untuk dinikmati, akan tetapi mengganggu pemikiran terus menerus. Pantas saja, orang-orang terdahulu mengatakan bahwa semakin lanjut usia, ternyata perasaan semakin sensitif dan terkadang tidak masuk akal. Namun semua itu ternyata ada faktanya, sekalipun sulit dinarasikan seolah perjalanan hidup itu melelahkan. Bahkan tidak jarang berita itu membebaninya secara batiniah disaat usia senja, sehingga menurunkan kesehatan dan berakibat kepada kematian.

Berdasarkan telusuran peristiwa dan fakta di dunia maya ternyata ditemukan informasi di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang kian padat dan penuh tuntutan, semakin banyak orang yang merasa hidup ini melelahkan. Melelahkan secara fisik, emosional, bahkan mental. Tak jarang, mereka yang tampak baik-baik saja dari luar sebenarnya sedang menyimpan keletihan mendalam yang tak selalu bisa diungkapkan dengan kata-kata. Keletihan itu bukan hanya soal kurang tidur atau terlalu banyak pekerjaan. Lebih dari itu, ia adalah hasil dari akumulasi tekanan hidup yang terus-menerus, beban ekspektasi yang berlebihan, dan tidak jarang juga kehilangan makna dalam rutinitas yang monoton.

Banyak dari kita menjalani hidup layaknya robot. Bangun pagi karena alarm berbunyi, bergegas berangkat kerja, menyelesaikan tugas demi tugas, pulang dalam kondisi lelah, dan akhirnya tidur hanya untuk mengulang semuanya esok hari. Siklus ini seolah tak pernah berhenti. Bahkan saat akhir pekan tiba, tubuh mungkin beristirahat, tetapi pikiran tetap bekerja. Entah memikirkan target yang belum tercapai, masalah yang belum selesai, atau masa depan yang masih penuh tanda tanya. Apalagi gelombang pemutusan hubungan kerja sedang marak dimana-mana; tentu ini mengganggu ketenangan para pekerja yang sudah terjebak dalam “mencintai” pekerjaan bagai alkohol kehidupan. Tekanan seperti ini secara perlahan bisa mengikis semangat dan gairah hidup. Salah satu cirinya hari-hari terasa hambar, bahkan kehilangan arti. Banyak orang akhirnya bertanya pada diri sendiri: “Untuk apa semua ini? Apa tujuan hidup saya sebenarnya?”

Kita hidup di era yang mengagung-agungkan produktivitas. “Harus sukses sebelum usia 30,” “Kalau belum punya rumah sendiri, berarti belum berhasil,” atau “Punya waktu luang berarti pemalas” — adalah contoh narasi yang terus diperdengarkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Media sosial memperparah tekanan ini dengan menyuguhkan pencapaian orang lain yang tampak luar biasa, padahal kita tidak tahu cerita di baliknya yang bias jadi berdarah-darah untuk mencapainya apalagi mempertahankannya.

Budaya ini menciptakan ilusi bahwa nilai seseorang ditentukan oleh seberapa sibuk dan seberapa banyak yang bisa mereka hasilkan. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk menjadi lebih baik, lebih kaya, lebih diakui, lebih banyak uang. Ironisnya, semakin keras seseorang berlari, semakin ia merasa tertinggal.

Salah satu dampak terbesar dari hidup yang melelahkan adalah hilangnya koneksi dengan diri sendiri. Kita begitu sibuk memenuhi ekspektasi luar sampai lupa mendengarkan suara hati. Apa yang sebenarnya kita inginkan? Apa yang membuat kita bahagia? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali terkubur di bawah tumpukan pekerjaan, jadwal padat, dan keharusan-keharusan lain, yang terkadang tidak masuk akal. Padahal, mengenal diri sendiri adalah fondasi dari kehidupan yang bermakna. Tanpa itu, kita mudah tersesat, merasa hampa, dan pada akhirnya kelelahan menjadi kondisi kronis yang sulit diatasi.
Berbeda dari kelelahan fisik yang bisa dipulihkan dengan tidur atau istirahat, kelelahan emosional dan mental jauh lebih kompleks. Ia muncul dari tekanan yang tak tampak, seperti rasa cemas, takut gagal, atau perasaan tidak cukup baik. Kadang, orang yang tampak ceria dan produktif pun menyimpan keletihan ini dalam diam. Kondisi ini bisa berkembang menjadi burnout, yakni keadaan di mana seseorang merasa benar-benar terkuras secara emosional, kehilangan motivasi, dan merasa tidak lagi mampu berkontribusi. Burnout bukan sekadar rasa lelah biasa; ia adalah panggilan tubuh dan jiwa untuk berhenti sejenak dan berbenah.

Ketika hidup terasa terlalu berat, mungkin muncul keinginan untuk menyerah. Namun, menyerah bukan satu-satunya pilihan. Yang perlu kita lakukan adalah jeda — bukan berhenti selamanya, tapi memberi ruang untuk bernapas, menata ulang arah, dan mengisi kembali energi yang terkuras. Jeda bisa berupa istirahat sejenak dari rutinitas, membatasi akses terhadap media sosial, mengambil waktu untuk sendiri, atau bahkan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Mengakui bahwa kita lelah bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri.
Meski hidup melelahkan, bukan berarti hidup tak punya makna. Justru di tengah kelelahan itu, kita bisa menemukan pelajaran penting: tentang batas, tentang penerimaan, dan tentang apa yang sebenarnya penting dalam hidup ini. Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil.

Meluangkan waktu untuk hobi yang kita sukai, menghabiskan waktu berkualitas dengan orang tercinta, atau sekadar menikmati momen sederhana seperti secangkir kopi hangat di pagi hari. Hal-hal ini mungkin tampak remeh, tapi bisa menjadi sumber kebahagiaan yang tulus dan memberi makna baru pada hidup yang kita jalani.

Tidak ada hidup yang sepenuhnya bebas dari tekanan. Namun, kita bisa belajar untuk menyeimbangkan antara tuntutan dan kebutuhan diri. Salah satunya dengan menetapkan batas yang sehat, baik dalam pekerjaan maupun hubungan sosial. Belajar berkata “tidak” pada hal-hal yang menguras energi tanpa memberi nilai tambah. Mengatur ekspektasi, bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari diri sendiri.

Hidup memang tidak selalu mudah. Ada saat-saat dimana semuanya terasa berat, melelahkan, dan penuh beban. Tapi di balik semua itu, hidup tetap menyimpan keindahan yang bisa kita temukan — jika kita bersedia mencarinya dengan hati yang terbuka dan bening.

Jika kita merasa hidup ini melelahkan, ingatlah bahwa kita tidak sendiri. Banyak orang yang diam-diam merasakan hal yang sama. Jalan yang paling dianjurkan adalah melalui pendekatan diri dengan Yang Maha Mengetahui. Mari kita introspeksi jangan-jangan ini cobaan dari-Nya untuk mendapatkan kebaikan, atau panggilan untuk kembali kejalan yang benar. Atau bisa jadi adalah benih dosa yang kita tanam dan sekarang kita menuai hasilnya. Hanya Tuhan dan diri kita yang mengetahui. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman