“Nglangut” (Sebuah Kontemplasi Psikologis)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Malam terasa dingin, hujan turun sejak sore; Pak Kasdi tinggal berdua bersama istrinya yang juga sudah tidak muda lagi. Istrinya sudah tidur lelap sejak sore selepas isya, itu merupakan kebiasaan lamanya. Rumah sederhana mereka di pojok desa menjadi tempat tinggal yang asri. Hanya disinari lampu listik redup, dan ditemani pesawat televisi tua yang masih bisa menangkap siaran beberapa stasiun. Di meja kecil pojok ruang yang berfungsi serba guna itu ada satu gelas kopi yang sudah mulai dingin, serta goreng pisang yang juga sudah dingin.

Selepas isya, biasanya Pak Kasdi langsung tidur agar bisa bangun di sepertiga malam untuk melakukan khiyamullail, tetapi entah mengapa, untuk malam ini Pak Kasdi tidak bisa memejamkan mata. Kelebat bayangan lima anaknya yang sedang berjuang di tengah kehidupan, datang dan pergi dalam angannya.

Sebenarnya, anak-anaknya sudah dewasa, semua sudah berkeluarga, memiliki rumah sendiri-sendiri, tetapi beberapa malam ini bayang mereka silih berganti menghampiri ingatan; membuat pikirannya menjadi nglangut.

Di budaya Jawa, “nglangut” bukan sekadar melamun atau merasa sedih. Itu adalah ekspresi batiniah yang kompleks—perpaduan antara sepi, kegalauan, kekosongan, dan perenungan yang mendalam. Nglangut adalah saat dimana pikiran dan rasa larut dalam diam, menyeberangi batas antara kenyataan dan kenangan. Dan malam itu Pak Kasdi nglangut memikirkan nasib anak-anaknya yang kini hidup di zaman yang berbeda jauh dari masa mudanya dulu.

Pak Kasdi sebenarnya pria yang ramah dalam bicara, tetapi sejak muda, ia terbiasa menunjukkan cinta dengan kerja keras, bukan dengan kalimat manis. Ia bukan tipe bapak yang memeluk atau memuji anaknya secara langsung. Namun, setiap pagi, ia bangun sebelum ayam jantan berkokok untuk menyiapkan cangkul, berangkat ke sawah, dan pulang sore hari dengan tubuh lelah, tapi hati tenang. Semua itu ia lakukan demi satu hal: masa depan anak-anaknya.

Anak-anaknya pun dibekali pendidikan agama secukupnya, dia juga selalu berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak meninggalkan kewajiban agama lima waktu walau sesibuk apapun. Kini, ketika rambutnya mulai memutih dan tenaganya tak sekuat dulu, ia duduk sendiri seperti itu, memikirkan kemana arah hidup anak-anak yang pernah ia timang. Semuanya tampak sibuk, tetapi di matanya, mereka juga tampak lelah, terombang-ambing oleh zaman yang tak pasti.

Pak Kasdi menyadari, dunia anak-anaknya kini penuh dengan persaingan dan berbeda dengan dunianya. Gelar sarjana yang mereka sandang bukan jaminan bisa langsung bekerja dan hidup enak. Hidup di kota bukan berarti mereka pasti lebih baik, karena mereka harus berlomba, harus cepat, harus berani. Dan di tengah semua itu, Pak Kasdi tahu: mereka juga lelah, meski tak pernah mengungkapkannya. Sejurus Pak Kasdi bertanya dalam hati: “Apa aku sudah cukup menjadi Bapak yang baik? Apakah perjuanganku selama ini cukup menjadikan bekal untuk mereka?”.

Kekhawatiran itu tumbuh dalam diam. Pak Kasdi tidak bisa memaksa anak-anaknya untuk tetap bersamanya atau untuk hidup seperti dirinya. Namun, ia juga takut mereka tersesat di dunia yang terlalu cepat berubah. Dunia yang kadang kejam pada orang baik, dan memuja keberhasilan instan tanpa nilai, bahkan hampa; namun anehnya banyak yang menjadi pengikut.

Dalam pikirannya, Pak Kasdi ingin bicara, ingin bertanya: “Apa kalian bahagia Anak-Anakku? Apa yang bisa Bapak bantu?” tetapi lidahnya kelu. Di usia senjanya, Pak Kasdi lebih memilih diam, karena ia tahu, anak-anaknya pun punya beban yang tidak ringan. Dan dia tidak ingin menambah beban itu dengan keluh kesahnya sebagai orang tua.

Rasa nglangut Pak Kasdi bukan semata karena sedih. Di dalamnya ada cinta yang tak bisa ia ungkapkan. Setiap helaan napasnya malam itu adalah doa yang tak bersuara. Ia memandangi langit mendung, seolah berbicara dengan Tuhan: “Ya Tuhan, tunjukkan anak-anak jalan, beri keteguhan, dan beri tempat di dunia yang tak ramah ini”. Ia tidak meminta mereka menjadi orang kaya, tidak pula harus berhasil dalam arti duniawi. Ia hanya ingin anak-anaknya tetap menjadi manusia yang tahu diri, tahu asal, dan tahu arah pulang. Pak Kasdi bukan tipe orang yang meminta-minta. Ia hanya berharap, dan dalam harapan itu ia larut nglangut dalam kesunyian yang tak bisa dijelaskan, kecuali oleh mereka yang pernah menjadi orang tua.

Pak Kasdi hanyalah satu dari ribuan bapak di penjuru negeri ini yang nglangut dalam diam. Mereka bukan tidak bangga, bukan tidak percaya pada anak-anaknya, mereka hanya sedang menata rasa, menyesuaikan diri dengan dunia yang tidak lagi seperti dulu.

Nglangut, bagi seorang bapak, adalah bentuk cinta paling jujur. Ia tidak meledak, tidak mewah, tidak diunggah di media sosial. Namun ia nyata—mengalir dalam diam -, seperti sungai yang tetap setia mengalir meski tak pernah diperhatikan, tetap terus menembus rongga bumi menuju pantai.

Di bawah langit yang sedang murung itu, Pak Kasdi masih duduk. Matanya menatap jauh, tapi hatinya tetap dekat. Dekat dengan harapan, dekat dengan doa, dekat dengan anak-anaknya yang ia cintai sepenuh jiwa. Mulutnya bersuara lirih “Semoga anak-anakku selalu ingat jalan pulang”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman