Susahnya Pasti, Senangnya Nanti
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu takziah ke kediaman kerabat yang keluarganya meninggal dunia; suasana duka menyelimuti keluarga itu sangat kental sekali, karena alamarhum dikenal orang baik dan banyak teman. Sekalipun yang bersangkuan adalah putra pejabat penting di daerah ini pada jamannya, namun beliau selalu bergaul dari kelas bawah sekali sampai paling atas di negeri ini. Bahkan pernah suatu ketika beliau pulang tinggal menggunakan kaos dalam; tatkala di tanya kemana bajunya, dengan santai beliau menjawab “saya berikan ke mereka yang tidak beruntung dan sangat memerlukan”; dan kelakuan seperti ini beberapa kali beliau lakukan.
Pada saat duduk bersama yang hadir, hampir semua mereka yang datang menceritakan kebaikan beliau semasa hidupnya. Bahkan ada yang sambil berkacaka mengungkapkan kebaikan beliau, saat beliaunya sendiri susah namun begitu ada teman lain membutuhkan bantuannya; dengan sertamerta beliau memberikan apa yang teman butuhkan tanpa mengingat bahwa dirinya juga sedang membutuhkan.
Jadi ingat beberapa puluh tahun silam saat beliau masih muda pada satu kesempatan kami ngobrol dengan beberapa saudara. Almarhum pernah bicara bahwa yang namanya susah itu pasti, tidak usah dicari dia datang sendiri, namun berbeda dengan senang, itu adalah sesuatu yang harus diupayakan untuk bisa hadir di dalam hati. Tampaknya beliau mengamalkan ajaran itu hingga akhir hayatnya. Semoga beliau husnulkhotimah.
Kita telusuri lebih lanjut apa makna dasar filosofi dari pendapat tadi; ternyata berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut: “Susahnya pasti, senangnya nanti” memiliki makna filosofis yang dalam, terutama dalam konteks kehidupan dan perjuangan. Berikut beberapa makna yang bisa diambil: Pertama, Kesulitan adalah Keniscayaan, Kebahagiaan adalah Hasil, Dalam hidup, kesulitan dan tantangan pasti akan terjadi. Tidak ada manusia yang terbebaas dari kesulitan dan tantangan. Namun, jika kita bertahan dan berusaha, kesenangan atau keberhasilan akan menyusul kemudian.
Kedua, Kesabaran dan Ketekunan Menghasilkan Hasil Manis, Perjalanan menuju keberhasilan sering kali penuh rintangan. Kesabaran dan ketekunan dalam menghadapi kesulitan akan membawa hasil yang lebih baik di masa depan. Ketiga, Hukum Sebab Akibat . Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Jika kita siap menghadapi kesulitan dan bekerja keras, pada akhirnya kebahagiaan dan keberhasilan akan datang sebagai akibatnya. Keempat, Nilai Keberanian dan Pengorbanan. Menjalani kesulitan dengan tekad kuat bukan berarti menikmati penderitaan, tetapi memahami bahwa perjuangan saat ini adalah investasi bagi kebahagiaan di masa depan.
Ungkapan ini mencerminkan pola pikir jangka panjang, bahwa kebahagiaan sejati sering kali lahir dari proses yang sulit dan penuh ujian. ungkapan ini mengajarkan kita untuk tidak takut menghadapi kesulitan karena di baliknya ada kebahagiaan yang menunggu. Oleh sebab itu tidaklah salah jika orang bijak mengatakan bawa: “Susah adalah jalan menuju senang, dan senang tak akan berarti tanpa susah.”
Namun jaman sudah berubah, generasi sudah berganti; justru sekarang ungkapan itu menjadi usang karena berubah menjadi “kenapa harus susah kalau senangnya sudah pasti”. Sikap tidak menghargai proses ini menjadikan pola hidup hedonis; bahkan ada teman sesama purnabakti yang berjiwa nasionalis sampai berkomentar “mau jadi apa negeri ini jika semua mau instan”.
Tampaknya ada sesuatu yang hilang di negeri ini, salah satu diantaranya adalah “teladan mulia” yang ditampilkan para pemuka negeri. Bisa dibayangkan jika dari atas sampai bawah memudahkan sistem bisa dilakukan jika ada “pelumas” berupa cuan. Lebih menakjubkan lagi jika itu dalam satuan nominal asing; maka bisa dibayangkan betapa rapuhnya negeri ini. Akibatnya laut dikapling, gunung di ratakan; sebentar lagi udara di sekat dan kalau bisa mataharipun akan dipindahkan. Semua terjadi karena ketamakan yang melekat dalam diri, sehingga bisa menjadi lupa diri.
Padahal jauh-jauh hari Rasullullah sudah berpesan bahwa diriwayatkan oleh Anas bin Malik, di mana Rasulullah ﷺ bersabda: “Andai kata manusia itu telah mempunyai harta benda sebanyak dua lembah, mereka masih ingin untuk mendapatkan satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi perutnya sampai penuh melainkan hanya tanah (maut). Dan Allah menerima taubat orang yang telah bertaubat kepada-Nya.” Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman