Kadipaten Maling
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Syahdan di negeri para Mbilung, seorang Adipati duduk di singgasana dalam kondisi gundah gulana. Ia memikirkan cara mengatur strategi agar para penggawa kadipaten dapat melakukan korupsi dan maling uang rakyat tidak tampak mencolok. Sang Adipati merasa terganggu jika ada nayaka praja melakukan korupsi tetapi ketahuan. Menurutnya, itu adalah kebodohan yang tidak dapat ditoleransi. Jika itu terjadi berarti pemasukan untuk pribadi sang Adipati menjadi berkurang. Lebih-lebih lagi jika sampai ke pengadilan, terpaksa sandiwara dilanjutkan berjilid-jilid.
Hukuman maksimal diberlakukan agar kelihatan Sang Adipati serius memberantas kejahatan keuangan, namun seiring perjalanan waktu harus diatur dengan segala macam upaya bagaimana hukuman tadi bisa dijalani hanya sesingkat-singkatnya. Bisa melalui banding, remisi, atau apapun namanya yang penting hukuman berkurang.
Kadipaten maling seperti ini harus tampak gemah ripah loh jinawi. Kegiatan pembangunan harus terus digalakkan. Sebab, jika tidak ada kegiatan maka tidak tercipta peluang untuk mengeruk dana. Kalau pembangunan menggunakan istilah hulu dan hilir, maka permalingan pun harus dengan cara yang sama. Bermula dari perencanaan kegiatan atau proyek di lembaga yang mengurus perencanaan. Saat itu sudah dimulai dengan bahasa sandi “ini milik siapa, ini titipan siapa”.
Selanjutnya saat pelelangan, proses diatur agar perusahaan pemenang adalah sejalur dengan perencanaan. Demikian juga saat eksekusi di lapangan, pengerjaan harus mereka yang ada pada payung perencanaannya. Ini baru disebut “proyek strategis”. Peruntukan dan nilai uangnya harus jelas alurnya.
Kadipaten para maling ini sangat khawatir dengan anak muda yang ada di luar posisi. Itu karena mereka sering berbuat aneh-aneh. Tidak jarang mereka mengancam para nayaka yang bertugas menjalankan perintah para juragan. Nayaka harus tampak luar sebagai orang baik. Jika perlu berpakaian layaknya para malaikat, agar tidak terdeteksi bahwa mereka adalah para raja setan. Oleh sebab itu, anak muda instruksinya jangan dimusuhi, tetapi jangan pula dituruti. Maka, diatur strategi model bermain layang-layang, tarik-ulur sampai bosan dan diam.
Adipati sekarang justru lebih pusing dengan istri para nayaka praja yang kemaruk karena memiliki uang banyak. Mereka sering pamer barang-barang mewah, kendaraan mahal, dan jalan-jalan ke luar negeri secara mencolok. Akibatnya, para nayaka terpaksa ditindak, jabatannya dicopot, serta diancam untuk tutup mulut. Hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai agar tidak menjalar ke atas, tentu akan berujung pada Adipati sendiri.
Susunan kepamongan yang disusun oleh Sang Adipati harus tetap dalam pantauan dan kendalinya. Sebab, hal itu berkaitan dengan “setoran wajib” yang diharuskan agar mereka selamat dari lengseran kursi. Agar tidak tampak sebagai Adipati rakus, maka semua upeti masing-masing memiliki jalur. Jalur ini dibuat sesuai dengan kepentingan, jumlah, dan kegunaan.
Maharaja boleh berganti, karena kedudukannya di awang-awang jauh di sana di Ibu Kota Kerajaan, dia tidak boleh berbuat macam-macam karena semua sudah diatur secara detail. Pusat pemerintahan adalah tempatnya, sementara Adipati penguasa Kadipaten tidak harus ikut Maharaja, terutama soal mengumpulkan cuan. Oleh karena itu, tampak muka harus polos di depan Maharaja, sementara di muka para nayaka praja harus garang.
Menjadi Adipati sama halnya menjadi pemain sandiwara dan harus menjadi pemain watak yang bagus, sehingga seluruh adegan selama periodesasi kepemimpinan nya mesti sempurna. Di atas meja harus bersih dan rapi, namun di bawah meja harus kusut masai. Atau dengan bahasa lain: semua terkesan baik-baik saja, sementara di bawah meja itu semua bagian Adipati tidak ada yang boleh mengganggunya.
Membaca artikel ini tidak perlu baper sebab ini hanya khayalan. Tidak bermaksud menyindir siapapun. Sama halnya kita membaca roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka. Kapal itu tidak ada. Yang ada adalah imajinasi Hamka tentang sesuatu hal atau peristiwa dalam angannya. (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!