Pekan Sunyi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat masuk kampus dikejutkan dengan sepinya suasana, yang biasa hiruk pikuk kendaraan mahasiswa, dosen, dan karyawan lalu lalang. Saat ditanyakan kepada petugas dijawab bahwa hari ini kan minggu tenang.
Peristiwa itu mengingatkan diawal tahun 70-an saat menjadi mahasiswa dengan istilah “pekan sunyi”; semua mahasiswa sibuk dengan bacaan dan hafalan hasil perkuliahan dan bacaan literatur wajib. Dosen-pun tampak sibuk menyiapkan bahan ujian berupa kertas sit yang akan diputar sebagai bahan ujian mahasiswa, cara ini dikenal stensil pada jamannya. Jika diukur dengan parameter sekarang betapa menyedihkan nasib dosen pada waktu itu, tetapi dengan semangat yang tinggi dengan tidak mengenal lelah menanamkan nilai-nilai etika akademik yang tinggi kepada kami mahasiswanya.
Maka jika ada dihari gini tidak mempercayai koreksi norma etika yang dilakukan oleh ilmuwan apalagi itu guru Blbesar, patut dipertanyakan apakah yang bersangkutan masih mengenal kiblat.
Pada masa pekan sunyi inilah aktivitas otak diperas dengan asupan gizi dari beasiswa Supersemar pada zamannya; begadang bersama teman satu angkatan; sesuai masanya penerang listrik masih sangat jarang, maka lampu Petromax jadi andalan. Karena hawa panas dari lampu genjot ini, maka semua kami tidak pakai baju, yang ada hanya kaus oblong, itu pun bersimbah peluh. Ditingkahi singkong bakar dari hasil “ndodos” kebun milik orang, dan minum kopi satu cangkir bersama,menghisap rokok satu batang ramai-ramai; semua tetap asyik pada waktunya.
Semua yang di atas itu “dulu”; sementara sekarang makna pekan sunyi yang berubah menjadi minggu tenang untuk beberapa event, sedang terjadi. Minggu tenang atau pekan sunyi saat ini sedang berlangsung dan diisi kegiatan adu strategi dalam menjala suara. Ada yang menggunakan serangan fajar, ketok pintu sampai menjumpai dari pintu ke pintu, dan masih banyak lagi cara dilakukan; bahkan pada waktu kampanye akbar terang-terangan bagi-bagi cuan di depan mata, yang penting tidak ketahuan pengawas, atau pura-pura tidak tahu, entahlah, biar waktu yang membuktikan.
Namun ada yang lebih dahsyat dari itu; ialah mereka yang berprofesi sebagai “tukang goreng”. Mereka ini semula adalah kaki-kaki yang dipasang oleh para calon, tetapi menjadi senjata makan tuan, apapun profesi yang diincar; mereka sedang memasang perangkap sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, termasuk yang memasangnya sebagai kaki-pun mereka masukkan perangkap. Bisa dibayangkan salah satu diantara mereka bisa memegang tiga orang calon tingkat kabupaten, dua orang provinsi satu orang pusat; dan hasil yang diperoleh bisa untuk tabungan satu tahun. Beliau-beliau ini melakukan dengan cara yang paling halus sampai yang paling kasar guna mendapatkan cuan.
Seiring kemajuan teknologi tukang goreng inipun memanfaatkan kelebihan teknologi; oleh karena itu makin canggih cara mereka menjebak mangsa untuk dijadikan uang. Tidak salah jika ada istilah dalam bahasa Palembang yang mengatakan bahwa “…wong bodoh makananyo wong pintar, wong pintar makananyo wong calak, wong calak makananyo Taun…” yang terjemahan bebasnya kira-kira orang bodoh makanan orang pandai, orang pandai makanan orang curang, orang curang makanan setan (Taun merupakan sebangsa setan).
Betapa benar peringatan orang bijak yang mengatakan bahwa setiap ada peristiwa disana ada pecundang. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan bijak semua peristiwa di dunia ini. Terkadang kita tidak sadar mengejar elang yang terbang sementara punai ditangan dilepaskan. Menggapai yang tidak pasti sementara rahmat dan karunia yang ada diabaikan.
Minggu tenang menjelang usai, tinggal bagaimana nasib negeri ini; sebagai orang yang beriman mari kita serahkan kepada Sang Pemilik Hidup untuk menentukan nasib pada pemenang. Kita semua harus ihklas dan ridho manakala apa yang kita harap tidak terjadi, percayalah bahwa yang terbaik itu belum tentu yang kita sukai. (SJ)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!