Mereka yang Terluka

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu penulis bersama keluarga menyeberangi Selat Sunda. Kebersihan dan kenyamanan kapal yang beberapa dasawarsa lalu menjadi kendala, tampaknya sudah berubah menjadi lebih baik. Fasilitas dermaga yang sangat memadai membuat waktu tunggu untuk naik ke Kapal tidak terasa lama. Dulu, banyak pedagang asongan dan kesan kumuh di mana-mana. Kini tampaknya sudah tidak terlihat lagi. Semua tertata walau belum rapi. Hal itu sudah mengesankan bahwa pemelihataan fasilitas negara diperhatikan. Ada satu hal lagi yang cukup menggembirakan yaitu sistem pembayaran dilakukan dengan nontunai. Ini berarti tingkat “kebocoran” uang sudah bisa ditekan.

Pada saat sejenak menikmati keasrian pemandangan laut, mata terpana dengan berita yang muncul di gawai. Yaitu, adanya mahasiswi dari Jakarta yang kuliah di perguruan tingi negeri ternama Sumateera Selatan, yang selama ini dibiayai oleh Pemerintah Ibu Kota karena terkategori sangat tidak mampu, harus menerima kenyataan diputus biaya bantuannya dengan alasan yang tidak jelas. Meskipun berita terakhir yang bersangkutan sudah kembali mendapatkan bea siswanya, bahkan mendapatkan penawaran bea siswa lain, salah satunya adalah adanya kebaikan hati seorang dosen. Dosen itu siap membiayai mahasiswa tersebut sampai selesai.

Membaca berita itu, hati menjadi sangat teriris. Bagaimana bisa negara tega membunuh cita-cita warganya yang piatu, yang ayahnya hidup dari berjualan kopi keliling. Itu belum selesai membaca, ternyata saat mencari berita lain, perasaan dibuat miris lagi karena membaca bagaimana seorang warga negara yang tidak melakukan kejahatan harus mendekam di dalam penjara. Sekalipun saat ini dibela oleh pembela hukuk probono (gratisan) terkenal, namun tetap saja negara yang katanya berdasarkan hukum, tetap menghukum orang yang tidak perlu dihukum. Hanya karena ulah oknum penegak hukum untuk mengakali hukum guna dapat menghukum, apalagi kepada mereka yang buta hukum.

Kalau deretan peristiwa ini digabungkan dengan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif pada peristiwa hajat nasional yang baru lalu, maka akan semakin panjang saja barisan mereka yang terluka. Banyak orang yang terluka, tetapi ada yang bahagia dan tertawa, di atas nestapa pihak lain. Ada pula yang semula dekat, begitu menang, terus menjauh karena sudah merasa “membeli” dari apa yang diperlukan. Sampai jumpa lima tahun yang akan datang itupun kalau masih berumur panjang.

Membekasnya luka sosial ini sering membuat trauma penderitanya. Hal ini sering tidak disadari oleh banyak orang. Menjadi lebih parah lagi yang membuat luka sosial itu justru penyelenggara negara, yang seharusnya menjadi pelayan sekaligus pengayom. Dirusaknya sistem sosial dan norma sosial, berakibat pada rusaknya nilai-nilai luhur yang selama ini diyakini dan dijaga marwahnya.

Manakala pelaku perusakannya adalah mereka yang seharusnya menjaga dan meneruslestarikan, maka sudah bisa diduga tentu kehancuran yang akan di dapat. Ini adalah perilaku sosial yang sudah menjadi aksioma, manakala syarat keberlakuannya terpenuhi. Menjadi lebih liar lagi, jika kondisi ini memang dikondisikan, sehingga pencapaian tujuan tidak memerlukan biaya besar dalam mencapainya.

Kerusakan sosial memang tidak bisa dilihat seketika. Juga tidak dengan mudah atau cepat bisa dipahami. Oleh sebab itu, tingkat keparahan kerusakan sosial akan diketahui jauh setelah memakan “korban”, dan dalam tempo yang tidak sebentar.

Bisa dibayangkan, betapa lukanya hati mahasiswa di atas yang bea siswanya dicabut dengan tidak diketahui sebabnya. Begitu ditanyakan kepada pemangku kewenangan mereka hanya bisa “lempar bola”. Sementara syarat-syarat yang seharusnya untuk menerima bea siswa itu masih ada pada yang bersangkutan. Luka ini bisa berbahaya jika menjadikan diri yang bersangkutan menjadi dendam sosial. Yang bersangkutan akan mengecap semua orang pemerintahan buruk, berhati serigala. Pertanyaan lanjut, berapa banyak di dalam masyarakat orang yang ada pada posisi ini? Apakah ini bukan berarti sistem yang dibangun ternyata melahirkan “harimau lapar” yang siap menerkam kita, karena kesalahan kita?

Dan, bagaimana kita harus menerima kenyataan ternyata hukum yang diciptakan itu menghukum mereka yang tidak harus dihukum, dan membebaskan mereka yang seharusnya dihukum? Tentu dewi keadilan sebagai lambang supremasi akan menangis berlinang darah karena menemukan sesuatu yang tidak seharusnya, justru menjadi harus.

Tidak salah jika ada adagium yang mengatakan “saat ini kita tidak perlu pemimpin yang tidak bisa memimpin, tetapi yang kita perlukan pemimpin yang juga menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin yang mampu memimpin, termasuk memimpin dirinya sendiri”. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply