Wilayah Transenden

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Transendental (Latin : transendentalia , dari transendere yang berarti “melampaui”) adalah “sifat-sifat wujud “, yang saat ini lazim dianggap sebagai kebenaran , kesatuan, keindahan, dan kebaikan. Ada juga yang mengatakan transenden (bahasa Inggris: transcendent) merupakan cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang terlihat, yang dapat ditemukan di alam semesta. Contohnya, pemikiran yang mempelajari sifat Tuhan yang dianggap begitu jauh, berjarak dan mustahil dipahami manusia.

Pengalaman transendental dapat diartikan sebagai suatu proses atau keadaan yang pernah dialami subjek dalam hal-hal yang sulit dipahami, bersifat kerohanian, tidak nyata dan tidak diketahui sebab-sebabnya. Sementara transendensi adalah upaya mengarahkan tujuan hidup manusia agar bisa hidup secara bermakna.

Nilai-nilai transendental ini adalah nilai-nilai ketuhanan sebagaimana diajarkan di dalam agama (Islam). Atas dasar pemikiran filsafat di atas, yang tentunya karena keterbatasan ruang tidak dapat dijelaskan secara detail dan rinci, maka dalam menghadapi peristiwa meraih harapan atau cita-cita, manusia bisa dimasukkan dalam empat kategori.

Pertama, mereka yang berupaya sekeras tenaga, bahkan gagal berkali-kali, kemudian bangkit lagi dan berhasil. Kedua, manusia yang berusaha sekali dan langsung berhasil. Ketiga, manusia yang tidak banyak usaha tapi berhasil. Keempat, mereka yang  sudah berusaha dan berupaya berkali-kali, tetapi tetap tidak berhasil.

Semua di atas menunjukkan bahwa wilayah hasil adalah wilayah transenden yang bukan menjadi kewenangan manusia dalam menetapkannya. Namun, banyak di antara kita belum mampu atau bahkan tidak mampu untuk menerima semua kenyataan itu, dan sangat jarang yang mau menyatakan finalisasi berfikir menyandarkannya sebagai takdir. Oleh sebab itu, banyak di antara kita tidak menyadari bahwa bisa jadi secara harfiah kita selalu mendapatkan halangan, atau hambatan; namun sejatinya itu adalah pembelajaran dari Tuhan kepada kita agar siap untuk menerima anugerah yang kita sendiri tidak mengetahui seperti apa, dimana, dan kapan semua itu akan terjadi.

Sebaliknya, ada orang yang semua tampak dimudahkan, semua disegerakan; bisa jadi itu adalah bentuk “nglulu” (bahasa Jawa: terjemahan bebasnya dilepasnafsukan)-nya Tuhan pada kita agar lupa diri. Akibatnya, kita kehilangan kendali dan tidak menyadari bahwa semua yang diperoleh itu adalah murka Tuhan dalam bentuk lain. Di sini peran agama menjadi sangat dominan untuk membalut dan merajut semua. Oleh sebab itu, sangat tidak tepat jika keyakinan filsafati seseorang menjadikan diri menjadi agnostik, bahkan ateis. Agnostik adalah orang yang meragukan keberadaan Tuhan.

Orang dengan paham agnostik berpendapat bahwa ada atau tidak adanya Tuhan maupun fenomena supernatural merupakan hal yang tidak dapat diketahui. Ateisme adalah sebuah paham atau filosofi yang percaya bahwa Tuhan itu tidak ada keberadaannya. Ateis merupakan orang yang menolak paham teisme disertai dengan klaim.

Agama yang berangkat dari keyakinan, sedangkan ilmu berangkat dari keraguan, tentu dalam melihat wilayah transenden kaitannya dengan fenomena sosial masa kini, menjadikan kita harus lebih berhati-hati; sebab bisa jadi sesuatu yang kita duga seharusnya saling menguatkan, justru saling menghancurkan. Sebaliknya, sesuatu yang seharusnya yang kita duga akan berbenturan, ternyata bisa terjadi kompromi untuk menuju harmoni.

Deskripsi di atas akan ditutup dengan suatu dialog transenden antara seorang profesor dengan calon doktor bimbingannya.

”Profesor, apakah kami boleh menerima imbalan uang saat membantu orang lain mengerjakan suatu pekerjaan keilmuan?”

“Jika ilmu itu kau anggap benda dan barang dagangan, maka boleh saja kau terima uang karena bisa jadi itu rezekimu. Namun jika ilmu itu kau anggap sebagai titipan atau bahkan anugerah illahi kepadamu, maka uang itu bisa jadi akan menjadi penghalang amalmu. Karena hanya dirimu dan Tuhan yang tahu apa yang menjadi kebutuhanmu dan apa yang menjadi keinginanmu.”

Tafsir dialog itu sangat terbuka untuk didiskusikan dengan diberi berbagai makna, karena wilayah itu sangat ontologies dan transenden. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *