Suka Memberi Tak Harap Kembali
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Siang yang terik ini sebagai penanda alam bahwa kita ada pada awal musim kemarau, yang menurut informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika untuk tahun ini masa kemarau dilihat dari kurun waktu cukup pendek, namun tingkat panasnya di atas rata-rata kemarau sebelumnya, walaupun termasuk kategori kemarau basah; hal ini terjadi karena perubahan iklim yang sulit diprediksi. Akan tetapi semua itu tidak menghalangi penulis untuk melakukan mini riset kepada responden, yang sebelumnya disasar adalah pegawai tingkat paling bawah, kini mahasiswa yang mendapat bea siswa kategori sangat tidak mampu secara ekonomi.
Karena pada tulisan lampau ada yang bertanya tentang metode yang dipakai, maka tulisan kali ini menampilkan secara ringkas metode yang digunakan, karena keterbatasan tempat serta unsur pertimbangan karya jurnalistik, kemudian tampilan metodologi dipadatkan. Wawancara dilakukan melalui telpon dengan pola “bola salju”; artinya responden yang diwawancarai setelah selesai harus menunjuk responden lain yang dia kenal untuk juga diwawancarai, dan terus bergulir begitu sampai pada m enunjuk kembali responden yang sudah diwawancarai.
Wawancara mendalam menjadi metode andalan dari langkah ini, dengan resiko memakan waktu yang cukup lama bahkan biaya pulsa yang tidak sedikit. Namun disitulah letak keasyikan sebagai peneliti untuk menemukenali responden secara utuh dan menyeluruh. Sebagai bahan awal ternyata perguruan tinggi ini memiliki jumlah mahasiswa penerima bea siswa sangat besar, berdasarkan informasi awal ada sekitar 3.500 orang; dari total itu lebih 95 persennya adalah bea siswa untuk mahasiswa yang secara ekonomi sangat tidak beruntung. Tentu saja ini sangat menantang untuk di lidik. Bisa dibayangkan perguruan tinggi swasta sebesar ini, yang pada umumnya hidup dari uang sumbangan mahasiswa, justru ini terbalik yaitu “menyumbang” mahasiswa, terutama mereka yang secara ekonomi tidak beruntung.
Benar saja, siang itu ditemukan responden yang Ibunya bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga, sementara Ayahnya buruh nelayan dipantai salah satu wilayah di daerah ini yang jenis pekerjaannya serabutan di dunia nelayan. Responden sendiri ikut menjadi “penumpang gratis” di salah satu keluarga Dosen universitas ini, dengan cara membantu semua urusan rumah tangga dosen. Pak dosen selain menanggung makan dan tempat tinggal, tidak jarang memberi sedikit uang jajan. Sementara bea siswa yang responden peroleh digunakan untuk biaya kuliah. Model yang begini, di mana dosen sekaligus mentor, merangkap pelindung mereka yang kurang beruntung di lembaga ini cukup banyak ditemukan. Dosen seperti ini pada umumnya diam dalam amal manakala dikonfirmasi tentang keberpihakannya kepada mahasiswa, dan begitu terdesak akan menjawab “biarkan Alloh yang maha mengetahui”.
Ada lagi responden di ujung sana yang sedang ada di desa tepi laut pesisir barat provinsi ini; mahasiswa ini menjelaskan bahwa dirinya sudah tahun ke tiga mendapatkan bea siswa dari Universitas, Ayah ibunya bekerja di kebun orang dengan cara mencari upahan, dan jika libur seperti ini, kesempatan bagi mahasiswa tadi untuk membantu orang tua sekaligus mencari bekal saat kuliah dimulai. Karena di kota ini ada family yang tidak jauh dari kampus, maka yang bersangkutan tidak harus mengeluarkan biaya transport. Dana bea siswa yang diterima dihemat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk keperluan membeli buku dan keperluan lain, sementara untuk makan yang bersangkutan mengandalkan perbekalan yang dia kumpulkan di kampung, dan juga ada kemurahan dari keluarga yang diikuti untuk sedikit berbagi makan.
Keadaan itu semakin membuat penasaran penulis untuk mencari jejak digital dan informasi actual; ternyata ditemukan jejak jauh sebelum pemerintah memiliki program Bidikmisi dan Kartu Indonesia Pintar, lembaga ini sudah memiliki skema bea siswa untuk mahasiswanya, bahkan pernah beberapa tahun lalu terjadi dua fakultas mahasiswanya diberi Bea Siswa berupa penggratisan atau pembebasan uang kuliah.
Yayasan Alih Teknologi yang membawahi Universitas ini tampak sangat jumawa untuk menjadi yang terdepan dalam mengentaskan masyarakat yang kurang beruntung. Bahkan karyawan yang berprestasi di rumah sakit milik yayasan ini, disekolahkan sampai jenjang Strata Dua oleh Yayasan di Universitasnya; jadi tidak aneh jika pada lini depan Rumah Sakit yang dimiliki yayasan ini memiliki wadyabala yang tangguh dan mumpuni.
Lembaga ini sebenarnya donator besar tetapi terselubung untuk saudara-saudara kita yang secara ekonomi kurang beruntung melalui dunia pendidikan, dan rumah besar bagi anak yatim. Kepedulian seperti ini terlepas dari sejarahnya konon dirasakan langsung oleh pemilik yayasan, namun yang jelas kerja nyata yayasan ini tidak pernah mau diekspose, karena hal itu mendekati riak yang tidak diajarkan dalam agama. Tentu sikap seperti ini sangat luar biasa untuk masa kini, dimana banyak orang atau lembaga yang justru mencari keuntungan dalam situasi apapun.
Catatan kecil dipojok sana ialah, setiap tiba waktu sholat, maka kumandang adzhan akan terdengar diseantero gedung. Tentu saja suasana kepesantrenan sangat lekat, sehingga sangat kecil peluangnya para wadyabala yayasan akan meninggalkan sholat. Tentu ini kerja-kerja keilahian yang perlu diapresiasi. Dari hasil wawancara justru ini juga menjadi daya tarik bagi orang tua mahasiswa guna mekuliahkan anaknya di lembaga ini.
“Rumah besar” ini sekalipun corak keislamannya kental, bahkan acara akademik yang sakral-pun di buka dengan lantunan kitab suci Alquran; namun juga menaungi semua kepercayaan keagamaan yang ada di negeri ini. Ada dosen bergelar doktor beragama Hindu, pengampu mata kuliah Bahasa Inggris beragama Nasrani; namun dari hasil wawancara mereka merasa tidak ada sekat karena perbedaan keyakinan, justru yang ada adalah kewajiban untuk menolong sesama, terutama untuk mereka yang kurang beruntung.
Lembaga ini terus tumbuh dan berbenah dengan tetap menjaga maruwah dan kualitas, adapun kekurangan yang ada hal itu menunjukkan kesempurnaannya, karena dia bukan syurga. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman