Baratayudha Itu Telah Berakhir

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Dikisahkan akhir Perang Baratayudha dalam Babat Mahabharata merupakan puncak dari konflik panjang antara Pandawa dan Kurawa yang melibatkan banyak nilai, intrik, dan pengorbanan. Singkat ceritanya, yang biasa dimainkan oleh para Dalang Wayang Purwa (Jawa) Perang Baratayudha terjadi di Padang Kurukshetra antara Pandawa melawan Kurawa). Pada umumnya para Dalang bersepakat bahwa perang itu berlangsung selama 18 hari. Kedua pihak mengalami banyak kehilangan, termasuk ksatria-ksatria besar seperti Abimanyu, Bhisma, Drona, Karna, dan lainnya.

Sahdan pada perang hari ke-18, Kurawa hampir habis. Duryudana, pemimpin Kurawa, memilih melarikan diri dan bersembunyi di sebuah danau menggunakan ilmu Jala Dharma, kesaktian ilmu ini bersembunyi di dalam air bisa tahan berlama-lama. Namun, Pandawa menemukannya atas petunjuk Prabu Kresno. Yudistira menantang Duryudana untuk duel terakhir, dan ia memilih adu Gada melawan Bima. Dalam duel tersebut, Duryudana bertarung dengan gagah. Namun, arsitek perang itu Prabu Kresno mengingatkan Bima untuk melanggar aturan perang. Atas dorongan itulah Bima memukul paha Duryudana dengan Gada, sebuah tindakan yang tidak sesuai aturan perang (karena memukul di bawah pusar dianggap curang).

Duryudana terluka parah dan jatuh, tetapi sebelum meninggal, ia mencela Pandawa yang dianggap menggunakan cara licik untuk menang. Setelah duel itu, Duryudana tidak langsung meninggal. Dalam kondisi sekarat, ia tetap mempertahankan kebanggaannya sebagai ksatria Kurawa. Kematian Duryudana menandai berakhirnya dinasti Korawa dan kemenangan Pandawa. Namun, peristiwa ini juga menimbulkan dilema moral bagi para Pandawa karena cara yang digunakan tidak sepenuhnya ksatria. Duryudana, meskipun sering digambarkan angkuh dan serakah, dianggap tetap seorang ksatria sejati yang setia pada kehormatan keluarganya. Dalam pewayangan Jawa, akhir hidup Duryudana sering digambarkan dengan penuh ironi: sebagai penjahat besar yang akhirnya hancur oleh karma, tetapi tetap dihormati sebagai ksatria yang mempertahankan keyakinannya hingga akhir.

Dari kisah Duryudhana ini, kita diingatkan bahwa kebajikan seperti kerendahan hati, keadilan, dan mendengarkan nasihat bijak adalah jalan menuju kehidupan yang harmonis dan bermakna. Sebaliknya, keserakahan, kesombongan, dan kebencian, tidak menghargai orang lain, ternyata hanya akan membawa kehancuran.

Lalu apa hubungannya dengan hasil akhir pemilu kada saat ini. Pertama yang menang jangan terlalu jumawa, sebab kemenangannya itu bukan hasil kerja sendirian; akan tetapi kerja banyak orang disetiap lapangan kehidupan mereka. Bahumembahu dari banyak oranglah yang mengantarkan seseorang menuju pada puncak kemenangannya. Adalah tindakan sangat bodoh jika berani menepuk dada itu kerjaan mereka sendiri. Sama halnya Para Pandawa tidak pernah merasa menjadi pemenang dalam Baratayudha, karena mereka sadar tanpa arsitek perang sekaliber Prabu Kresna, maka semua tidak akan bisa seperti ini.

Sebaliknya bagi mereka yang kurang beruntung tidak perlu harus bersedih hati berkepanjangan, sampai lupa makan dan mandi. Sebab bisa jadi itu adalah cara Tuhan menunjukkan kuasa akan mahlukNYA.

Jangan pula yang menang merasa dirinya bersih dalam menggapai kemenangan, sudah dapat dipastikan ada cara-cara yang tidak terhormat juga pernah dilakukan; terlepas itu direncanakan, tersetruktur dan masif; atau sekedar jalan pintas agar mempercepat menemukan jalan menang. Kelicikan tetap saja disebut kelicikan sekalipun ia berada pada posisi menang.

Tidak juga bisa diingkari antara pemenang dan yang kalah, semua sama-sama mengalami pengeluaran biaya yang sangat besar. Hanya yang menang terhibur atas kemenangannya, sementara yang kalah meratapi kekalahannya. Walaupun kalkulasi akhir mereka sama-sama harus mencari dana guna membayar hutang baik yang berjangka pendek maupun jangka panjang; baik yang melalui Bank maupun yang perorangan. Bagi pemenang masih mungkin mendapatkan celah untuk mengembalikan hutang dengan sedikit memanfaatkan celah lubang jarum yang tidak bisa dimasuki semut. Sementara bagi yang kalah sedang memikirkan asset mana yang akan dilego untuk menutup hutang jangka pendek; sementara yang jangka panjang nanti berunding dengan kepala dapur. Walaupun sebenarnya yang lebih pusing adalah para pendukung fanatik dan para Bandar; mereka habis uang berharap untung ternyata buntung, dan menyedihkannya lagi baik calon yang menang, apalagi yang kalah semua berupaya menghindar. Calon yang menang menggunakan jurus menembak selalu beralasan …” sebentar…dan…besok”.. . Sementara yang kalah menggunakan jurus …”ambles bumi”.. atau menghilang takberjejak. Tinggal diri berdiri mematung dengan mata berpandangan kosong kemuka, terutama yang ada pada pihak kalah.

Ada satu hal yang perlu diperhatikan, dan ini juga diingatkan oleh seorang Dosen senior dari Universitas keagamaan negeri di daerah ini ialah jangan sampai masuk Rumah Sakit. Gara-gara menang sehingga senang takhingga-hingga akhirnya lupa diri, badan dipacu walhasil harus diinfus tergeletak di ruang inap Rumah Sakit. Sementara yang kalah jangan sampai jadi pasien Rumah Sakit Jiwa, karena kekalahan itu adalah kesuksesan yang tertunda; atau bisa jadi itu bentuk sayang Tuhan dalam bentuk lain kepada mahluknya.

Menyikapi kemenangan dan juga kekalahan hendaknya secara wajar saja, sebab menang dan kalah itu adalah permainan dunia. Seperti disimbolkan dalam Baratayudha; menang jika diperoleh dengan tidak kasatria, adalah akan menjadi beban moral sampai kapanpun akan di bawa. Sementara kalah secara kasatria juga tetap sakit, sebab kekalahan itu adalah pukulan telak bagi siapapun yang maju kegelanggang pertandingan. Namun perlu diingat ada adagium yang mengatakan “jika tidak siap kalah janganlah kamu bertanding”.

Tidak ada obat untuk kekecewaan, hanya satu kata kuncinya dalam peringatan Tuhan adalah “kesabaran”; oleh sebab itu perlu diingat bahwa, gagal dan sukses sebenarnya ada pada lembar yang sama tetapi pada muka yang berbeda, kita diminta untuk menghadapi hanya dengan sabar dan ihlas. Dua kata yang ringan diucapkan tetapi berat dalam menjalankan.

Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman