“Diam” itu Jawaban

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada suatu kesempatan diskusi dalam perkuliahan filsafat ilmu; ada seorang mahasiswa pascasarjana berkomentar bahwa menurut dirinya puasa yang paling berat itu adalah puasa diam, dalam pengertian diam yang luas dan mendalam. Karena perkuliahan ini bukan kuliah agama, maka pembahasannya berlingkup filsafat, lebih spesifik ke filsafat ilmu. Diskusi berjalan dan jika dirangkum beberapa materinya yang berasal dari berbagai sumber adalah sebagai berikut: Pernyataan “Diam adalah jawaban” dapat dimaknai dalam beberapa cara tergantung dari sudut pandang filosofis yang digunakan.

1. Diam sebagai Pengakuan atas Keterbatasan Akal. Dalam filsafat, ada banyak hal yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Ludwig Wittgenstein dalam “Tractatus Logico-Philosophicus” menyatakan: “Apa yang tidak bisa dibicarakan, harus didiamkan.”
Artinya, ada batas-batas dalam bahasa dan logika manusia. Ketika akal tidak mampu menjelaskan suatu kebenaran yang lebih dalam (misalnya, hakikat Tuhan, makna kehidupan, atau pengalaman mistik), maka diam menjadi satu-satunya jawaban yang masuk akal.

2. Diam sebagai Bentuk Kebijaksanaan. Banyak filsuf dan pemikir menganggap bahwa diam adalah tanda kebijaksanaan, karena kata-kata sering kali tidak cukup untuk menggambarkan realitas. Diam memungkinkan seseorang untuk merenung lebih dalam sebelum berbicara. Terkadang, jawaban terbaik bukanlah berbicara, tetapi mengamati, mendengarkan, dan memahami. Oleh sebab itu dalam filsafat Timur ditemukan frasa sebagai berikut : “Orang yang tahu tidak berbicara, orang yang berbicara tidak tahu.” Artinya, semakin seseorang memahami suatu kebenaran yang mendalam, semakin ia sadar bahwa kata-kata tidak cukup untuk menggambarkannya. Kedalaman hakekat itu sering kali tidak terwakili oleh kata atau kalimat.

3. Diam dalam Mistisisme dan Spiritualitas. Dalam tradisi mistik, diam adalah sarana untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Dalam tasawuf, diam disebut sebagai “shamt”, yaitu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Djalaluddin Rumi pernah berpesan bahwa: “Diam adalah bahasa Tuhan, selain itu hanyalah terjemahan yang buruk.” Artinya, dalam keheningan, seseorang bisa lebih dekat dengan kebenaran Illahi daripada melalui perdebatan kata-kata.

4. Diam sebagai Perlawanan dan Sikap Eksistensial. Dalam filsafat eksistensialisme, diam bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap absurditas kehidupan. Jean-Paul Sartre dan Albert Camus menunjukkan bahwa dunia ini tidak selalu memberikan jawaban yang jelas, sehingga diam bisa menjadi ekspresi kesadaran akan absurditas itu.

Dalam konteks politik dan sosial, diam bisa menjadi bentuk kritik dan perlawanan, seperti yang ditunjukkan oleh Mahatma Gandhi dengan “Satyagraha” (perlawanan tanpa kekerasan). Dan, tampaknya apa yang dilakukan beliau, sekarang banyak dilakukan orang di negeri ini. Namun penyebab dari ke-diam-an itu disebabkan kefrustrasian yang berkepanjangan.

Bisa dibayangkan setelah parade korupsi yang tidak ada pemberatan hukuman bagi pelakunya, akan tetapi yang dilakukan justru pengesahan undang-undang yang memuat ketentuan negara melalui aparatnya bisa menyita kendaraan jika dua tahun tidak bayar pajak. Tidak pernah terpikirkan apa sebab tidak bisa bayar pajak; bisa jadi itu indikasi anjloknya ekonomi, atau sistem yang rumit.

Tampaknya diam juga dapat menunjukkan sikap kewarasan yang tinggi, karena sekarang banyak dijumpai justru mereka yang banyak bicara menunjukkan sikap sebaliknya. Akan tetapi bisa jadi parade diam itu juga mengindikasikan kefrustrasian yang mendalam. Oleh sebab itu ledakan yang diakibatkan dari diam berkepanjangan bisa membuat goncangan sosial yang membahayakan. Sayangnya teori ini banyak tidak dipahami oleh para pemimpin masa kini, atau bisa jadi tidak perlu memahami karena memang kondisi diam dikondisikan sedemikian rupa sehingga menjadi tercapai apa yang mereka inginkan.

“Diam” sebagai bentuk pertahanan diri yang paling akhir dan paling berat. Oleh sebab itu diam tidak bisa dilakukan dengan cara yang instan, akan tetapi harus melalui latihan yang cukup lama. Oleh karena itu banyak diantara kita yang gagal manakala ada pada posisi harus diam. Walaupun tidak selamanya diam itu emas, tetapi paling tidak dapat memposisikan kita untuk mengambil jarak, sehingga kita menemukan kebeningan dalam berkeputusan untuk bertindak. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman