Tantangan Baru Dunia Pers

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan

Dipersembahkan dalam rangka HUT Lampungpost ke-49


Tidak terasa media yang kita baca hari ini sudah berusia 49 tahun, tentu usia ini untuk ukuran penerbitan pers konvensional dapat dikategorikan “tidak muda lagi”; sebab hanya sedikit saja penerbitan se-masa-nya sekarang ini yang mampu bertahan dengan gempuran perubahan. Betul kata almarhum Selo Sumardjan, seorang Sosiolog Indonesia yang mengatakan bahwa “yang abadi di dunia ini hanya perubahan”, dengan bahasa lain kalau tidak mau berubah jangan tinggal di dunia ini.

Gelombang perubahan itu tercatat rapi dalam sejarah Lampung Post, dan tersimpan dalam memori para penggiatnya. Jejak jejak sejarah itu menggambarkan bagaimana gelombang pasang surut yang dilalui oleh media cetak tertua di Lampung saat ini. Ibarat kapal yang berlayar ditengah samudra, makin ketengah gelombangnya makin dahsyat, bahkan tidak jarang sangat membahayakan. Semula hanya ketemu riak-riak kecil, kemudian bertemu gelombang, dan sekarang ketemu badai; semua itu harus dilalui dengan selamat.

Pada era digitalisasi seperti saat ini, dunia pers-pun mengalami gempuran dahsyat; dengan bermunculan media digital yang menjamur, tentu ini merupakan “pesaing berat” bagi pers konvensional yang jika hanya memiliki satu bidang usaha saja tentu akan kolep.

Lampost sudah semenjak sepuluh tahun lalu mengantisipasi bakal terjadi gelombang dahsyat ini. Oleh sebab itu diversifikasi usaha dan konvergensi sistem sudah disusun lebih awal yang didisain oleh DR.Iskandar Zulkarnain.

Perlu diingat bahwa setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Era pendiri H. Solfian Akhmad, kemudian dilanjutkan era perjuangan di masa Bambang Ekawijaya, selanjutnya era pengembangan semasa DR.Iskandar Zulkarnain, dan era Abdul Ghofur sekarang adalah era pertarungan. Semua memiliki tantangan dan iklim yang berbeda, dan satu sama lain tidak dapat disamakan, namun rangkaian itu tidak dapat dipisahkan. Kesamaan mereka adalah sama-sama berjuang meniti karier dari bawah, dari mencari berita, editor, sampai Pamred; tentu bekal pengalaman ini adalah modal dasar dalam mengarungi tantangan jamannya.

Namun satu hal yang harus menjadi semangat bagi semua pengelola media yaitu harus terus menjamin keberlangsungan media cetak di masa depan; oleh sebab itu ada upaya dari Dewan Pers untuk menyegerakan penerapan PP Publisher Right di Indonesia, perlu dicermati dengan bijak dan perlu didukung jika itu membawa manfaat untuk keberlangsungan hidup pers nasional.

Presiden Joko Widodo mengarahkan agar Rancangan Peraturan Presiden yang mengatur Publisher Rights segera diselesaikan dalam waktu satu bulan sejak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari 2023. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kem Presiden Joko Widodo mengarahkan agar Rancangan Peraturan Presiden yang mengatur Publisher Rights segera diselesaikan dalam waktu satu bulan sejak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari 2023.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong menyatakan arahan Presiden itu telah ditindaklanjuti dengan mengajukan izin prakarsa melalui Kementerian Sekretariat Negara serta pembahasan bersama pemangku kepentingan mengenai materi rancangan Perpres berjudul Kerja Sama Platform Digital dan Media untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas

Tujuan adanya Perpres Publisher Rights itu tentu untuk melindungi semua pihak yang bergerak pada bidang Pers, dan memunculkan produk pers yang selalu terjamin kualitasnya. Upaya seperti ini sudah banyak dilakukan secara internal sebelumnya oleh insan pers, sebagai contoh adanya uji kompetensi bagi para jurnalis, dan berikut penjenjangannya. Hal serupa ini perlu diapresiasi, karena profesi jurnalis bukan profesi sembarangan yang setiap orang dengan modal kertas dan pulpen atau HP rekam, jadilah dia jurnalis.

Lampost untuk kualitas para jurnalisnya patut diacungi jempol karena standard yang diterapkan cukup tinggi, kualitas menjadi nomor andalan; bukti yang dapat dijadikan tolok ukur semua mantan jurnalis Lampost di luar sana tetap memiliki warna dan talenta tersendiri; dan pencirian tadi berbeda dengan dari media lain; bahkan ada teman yang berbisik setiap ada wawancara “itu pasti dari Lampost”, dan itu benar adanya.

Namun dari semua itu jarang kita sadari sekarang adanya pergeseran minat baca, seiring era digitalisasi dan budaya baru yang melekat pada generasi millenial. Generasi ini salah satu cirinya adalah tidak suka ribet, maunya serba praktis, cepat dan ringkas, dan sedikit malas. Oleh karena itu mereka tidak begitu suka membaca yang berpanjang-panjang, inginnya ringkas, padat, dan mudah dimengerti.

Pada sisi lain saat ini bertebaran portal berita yang terkadang satu sama lain sama isi dan kalimatnya. Entah itu disengaja, atau lupa edit sehingga pernah terbaca satu topic diterbitkan oleh portal berita yang berbeda, dengan kalimat yang sama. Tentu saja para millenialis menjadi tidak tertarik membacanya dan pada akhirnya menjadi “malas membaca”. Penyakit ini yang tidak disadari oleh teman-teman jurnalis saat ini. Bahkan mereka cenderung jor-joran untuk menggelontorkan informasi, yang terkadang ditangkap oleh kaum milenial sebagai spam. Sudah seharusnya diadakan penelitian terlebih dahulu tentang “apa maunya milenial” terhadap Pers, model informasi seperti apa yang mereka suka. Tentu pekerjaan ini memakan waktu dan biaya, namun dengan era teknologi seperti sekarang, hal seperti ini bisa dilakukan lebih mudah, praktis, cermat dan murah.

Sementara itu penerbit konvensional yang harus menanggung biaya produksi, dari gaji reporter, tinta cetak, distributor dll; harus tungganglanggang mengejar tenggat waktu dan bentuk sajian; ternyata tidak bisa berharap banyak produknya dapat dinikmati oleh konsumennya, karena kalah cepat dan murahnya dengan media online dalam menyajikan produknya, terutama untuk kaum millennial. Akan tetapi ada celah yang tidak dimiliki oleh Sistem Portal, yaitu: media konvensional dengan laman yang cukup luas, informasi yang disajikan tidak berjubel serta mengganggu kenikmatan membaca; dan ini menjadi hambatan bagi Portal media. Bahkan iklan yang kurang sedap-pun harus berdampingan dengan pokok berita; tentu ini menjadikan ketidaknyamanan pembaca.

Tampaknya ada segitiga sama kaki yang benturan di sana, sisi pertama media konvensional, sisi kedua media online/portal berita, pada sisi lainnya lagi konsumen sebagai penikmat produk pers; perekat pendamainya adalah Publisher Rights. Teman-teman pers justru lebih tertarik pada wilayah media; persoalan utama juga sebenarnya ada pada perubahan sikap baca dari para konsumen yang masih kurang digarap dengan baik oleh teman-teman produsen pers.

Ada perubahan besar dalam minat baca para konsumen produk media akhir-akhir ini; secara jujur kita harus akui akibat pandemi covid kemaren menyisakan residu sosial yang cukup membuat masalah. Semula piranti media sosial agak kurang disukai, bahkan dihindari pada proses pendidikan klasikal; namun karena covid media gaget ini menjadi primadona dalam pendidikan pola individual. Akibatnya pergeseran ini berdampak sampai sekarang, yaitu berubahnya pola pikir pengguna untuk menjadi ketergantungan kepada media sosial; sehingga dapat dikatakan warga sekarang, terutama para millennial amat tergantung kepada gaget, dan mereka inilah konsumen baru dalam media sosial untuk pewartaan apapun jenisnya.

Seperti disinggung di atas sifat praktis, instan, dan tergesa-gesa menjadi semacam label baru pada generasi ini, namun pada sisi lain mereka adalah “pasar potensial” bagi produk yang mereka butuhkan, di samping jumlah mereka sekarang sudah amat cukup besar. Menjadi persoalan strategi apa yang harus kita pakai agar produk jurnalis menjadi bagian hidup mereka, terlepas apakah itu konvensional atau digital. Sekalipun peluang digital lebih besar karena sudah menjadi bagian hidup mereka, bukan berarti produk konvensional tidak memiliki peluang, karena yang diperlukan kebijakan dari para pemangku kepentingan untuk peduli pada keberimbangan ini.

Sangat disayangkan pada situasi pilihan sulit seperti ini pemerintah dalam mengambil kebijakkan sering secara sadar atau tidak justru membunuh salah satu dari dua pilihan tadi. Sebagai misal pengumuman dari sesuatu kebijakan atau produk kebijakkan, justru hanya menggunakan pilihan digital, sementara yang konvensional tidak lagi diberi peluang. Akhirnya kecepatan dari digitalisasi justru membunuh yang konvensional; padahal belum tentu pilihan tadi sudah tepat benar, karena konsumen masih ada yang mengandalkan sistem konvensional, dan mereka ikut dirugikan.

Keberadilan informasi tampaknya diperlukan kebijakan bukan hanya sebatas pada retorika, atau sebatas selembar kertas keputusan, akan tetapi jauh lebih penting adalah Petunjuk Teknis Pelaksanaan bagi para pelaksana di lapangan; sehingga mereka dapat melakukan segala sesuatunya atas azaz keberadilan tadi. Dengan demikian akan terwujud suatu regulasi yang berpijak pada prinsip “wind-wind solution”.
Semoga dengan ulang tahunnya yang ke 49 ini Lampost terus berada pada garda depan yang menyuarakan kebenaran dengan caranya. Juga dengan kepemimpinan redaksi yang memiliki pengalaman lapangan luar biasa banyaknya, dapat menemu kenali persoalan, kemudian menentukan cara pemecahan, sehingga problema dapat diatasi dengan tidak menyisakan persoalan baru.

Semoga Tuhan mengijinkan kita semua melihat Lampost mencapai setengah abad pada tahun depan, dan tetap mengusung panji-panji jurnalis terpercaya; tidak lekang oleh hujan, tidak lapuk oleh jaman, selalu berjaya sepanjang masa. (SJ/451)

SELAMAT ULANG TAHUN LAMPOST-KU

1 reply

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] Besar Universitas Malahayati, Pemerhati masalah Sosial dan […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply